Institute Governance and Public Affairs (IGPA), Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan seminar bertajuk tata kelola hubungan kemitraan dalam ekonomi gig Indonesia. Acara ini merupakan rangkaian dari Dies Natalis Fisipol UGM ke-66. Webinar yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom pada 30 September 2021 dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan sambutan Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi. Acara kemudian dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Paripurna. Dalam sambutanya, Paripurna menekankan persoalan perubahan kultur kerja yang telah bergeser dari kerja formal menjadi kerja informal berbasis ekonomi digital. Peran serta pemerintah sebagai pemangku kebijakan sangat diperlukan untuk mencegah distorsi yang semakin dalam karena perbedaan antara kepentingan akumulasi profit yang dominan dan kepentingan untuk kondisi kerja layak pada sisi lainnya. Oleh karena itu, mekanisme bisnis yang ideal seharusnya didorong atas asas berimbang dan demokrasi yang telah termanifestasikan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Diskusi yang dimoderatori oleh Ferry Anggara, presenter TVRI Yogyakarta ini dihadiri oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Ida Fauziah sebagai keynote speaker. Ida memaparkan adanya perbedaan tiga aspek mendasar yang mengimplikasikan hak serta kewajiban antara hubungan kerja dan kemitraan dari sudut pandang ideal. Aspek tersebut meliputi perlindungan, bentuk penghasilan, dan perselisihan. Dalam kondisi normatif, hubungan kemitraan seharusnya memenuhi unsur perlindungan dalam bentuk kesepakatan, bentuk penghasilan yang didasarkan keberimbangan, dan perselisihan yang diselesaikan dalam bentuk kesepakatan antar-pihak yang bermitra. Meski berbeda dengan bentuk hubungan kerja antara buruh-pengusaha yang mengedepankan asas hukum industrial dalam ketiga konteks tersebut, hubungan kemitraan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM telah mencerminkan kondisi ideal dalam bisnis yang berbasis kesetaraan, saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.

Namun, Ida menjelaskan dalam konteks empiris, hubungan kemitraan khususnya dalam ekonomi gig telah menyimpang dari prinsip dasar kemitraan. Itu terjadi karena melimpahnya pasokan pekerja akibat bonus demografi yang membuat daya tawar pekerja gig menjadi lemah dihadapan perusahaan platform. Mereka terpaksa sepakat dengan pengaturan hubungan kemitraan secara sepihak oleh perusahaan agar dapat terus bekerja. Terakhir, sebagai colosing statement, Ida menekankan pentingnya mensejajarkan posisi tawar mitra melalui peran pemerintah. Upaya tersebut dapat dimulai melalui kewajiban perlindungan kerja serta jaminan kesehatan untuk mendisiplinkan posisi ekonomi satu pihak yang terlampau dominan.

Paparan materi webinar kemudian dilanjutkan oleh para pembicara dari sektor publik, akademisi, serta perwakilan asosiasi mitra platform ride-hailing. Keempat pembicara merepresentasikan pandangan optimisme dan posisi antisipatif. Pertama, perspektif optimisme terhadap mekanisme pasar disampaikan oleh Semuel Abrijani Pangarepan sebagai Dirjen Aplikasi Teknomogi dan Informasi Kominfo RI. Semuel yang telah berkecimpung selama 20 tahun sebagai pemimpin industri telekomunikasi, alih-alih menyoroti terkait posisi timpang dalam kemitraan perusahaan platform, justru memandang bahwa melalui hubungan kemitraan yang fleksibel ini orang-orang akan memiliki effort kerja yang lebih karena didorong oleh mekanisme hukuman (punishment), misalnya melalui putus mitra.

Mekanisme persaingan pasar bebas bagi Semuel adalah jalan terbaik untuk mencapai equilibrium, sejauh pemain pasar tidak hanya satu. Semuel menyebut: “Kalau menurut saya sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia ini, perusahaan membuat kebijakan berdasarkan data dari algoritma, selama ini tidak monopoli maka biarkan saja free market, toh kalau saya tidak suka dengan mereka maka saya akan pindah ke yang lainnya….”. Ini kemudian mengimplikasikan bahwa peran pemerintah dirasa belum terlalu perlu karena bisnis berbasis kemitraan sedianya telah lama berjalan bahkan sebelum hadirnya platform-platform ride-hailing.

Kedua, posisi antisipatif yang berkontradiksi dari pandangan sebelumnya, justru menganggap bahwa algoritma menjadi model bisnis yang berpotensi melemahkan posisi tawar satu pihak apabila tidak diregulasi.  Afif Hasbullah, Komisioner KPPU RI dalam sudut pandang kelembagaan yang mengatur persaingan usaha, memaparkan bahwa pergeseran bisnis berbasis algoritma berpotensi untuk menciptakan kondisi one side market, di mana kondisi ini menjadikan posisi yang terlampau dominan dan berakhir pada kartel, sehingga perlu adanya regulasi antisipatif. Sejalan dengan hal tersebut, Wahyudi Kumorotomo (Guru Besar Fisipol UGM) menyoroti potensi oligopoli dalam model bisnis berbasis algoritma yang tidak diregulasi. Oligopoli ini misalnya telah terjadi dalam konteks GoTo (merger Gojek dan Tokopedia).

Pandangan yang memperkuat pentingnya antisipasi melalui intervensi pemerintah dalam konteks empiris diperkuat oleh paparan Taha Syafaril Anrousi, ketua umum Asosiasi Driver Online (ADO). Taha menyoroti beberapa poin relasi kuasa yang dominan dilakukan oleh platform dalam konteks kebijakan wajib menggunakan properti seragam yang harus dibeli sendiri oleh mitra pengemudi, suspend dan putus mitra sepihak, serta penentuan tarif sepihak yang tidak mempertimbangkan biaya operasional pengemudi mitra. Untuk memperjuangkan penerapan prinsip kemitraan yang adil selama ini ditempuh para mitra pengemudi melalui jalur protes atau aksi demonstrasi. Akan tetapi menurut Taha penting untuk pemerintah meregulasi hubungan kemitraan agar tercipta hubungan kemitraan yang sehat, sehingga meminimalisir konflik antara mitra dan pemilik platform.

Ari Hernawan guru besar hukum ketenagakerjaan UGM yang juga merupakan tim peneliti IGPA MAP Fisipol UGM dalam kajian “Di balik Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja Mitra Transportasi Online Indonesia” (2020), menekankan pentingnya peran negara dalam mengatur hubungan kerja antara mitra dan pemilik platform. Peran negara dapat diwujudkan dalam tiga alternatif kebijakan, yaitu: 1) bertahan dengan hubungan kemitraan, akan tetapi menetapkan peran pemerintah pada proses bisnis yang mengatur standar teknis operasional kerja, sementara dalam konteks kemitraan diatur dalam regulasi terpisah untuk menyeimbangkan posisi tawar mitra, salah satu contohnya adalah kebijakan upah minimum; 2) bergerak di ranah hubungan kerja, sepertihalnya hubungan kerja formal antara buruh dan pengusaha, sehingga dalam konteks hubungan industrial ditentukan oleh politicall will aktor tripatrit (pengusaha, pekerja, dan pemerintah) 3) berbagi peran kelembagaan, di mana ada pemisahan antara proses bisnis dan regulasi kemitraan yang didistribusikan pada Kementerian/ Lembaga sesuai dengan tupoksi.

Diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut berlangsung interaktif, beberapa audiens antusias dalam memberikan komentar serta pertanyaan terkait dengan paparan materi pembicara. Beberapa pertanyaan serta diskusi diantaranya berkaitan dengan alternatif jalur litigasi yang memungkinkan dibawa pada ranah pengadilan untuk memasukkan gugatan hubungan kemitraan yang tidak seimbang sebagai alternatif proses hukum selama menunggu kekosongan regulasi. Selain itu, diskursus juga muncul dari forum tanya-jawab mengenai konsep otomatisasi berbasis integrasi antar-stakeholder melalui piranti digital. Konsep ini menawarkan kemudahan dalam menganalisis kekosongan dan urgensi kebijakan termasuk dalam konteks ekonomi gig, serta mempermudah mekanisme koordinasi berbasis digital. Ferry Anggara selaku pemandu diskusi, menutup diskusi dengan menarik kesimpulan bahwa ekonomi digital yang sedianya menyediakan peluang yang besar terlebih bagi keterbukaan sektor lapangan kerja perlu diimbangi dengan regulasi yang menciptakan keadilan dalam konteks hubungan kerja

Model bisnis berbasis ekonomi gig memang telah membawa transformasi besar yang menghubungkan banyak orang pada kesempatan kerja di tengah bonus demografi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar dibanding dengan kesempatan kerja pada sektor formal, membuka peluang platform berbasis massa (mass-based platform) untuk menarik banyak orang bergabung dalam relasi kerja baru berbentuk “kemitraan”. Akan tetapi, dalam konteks empiris prinsip dasar kemitraan hanya dilakukan sebagian saja, yaitu distribusi alat produksi, namun tidak dengan distribusi pendapatan layak dan kesetaraan posisi hubungan kerja. Melalui keterlibatan pemerintah dalam bentuk produk hukum, maka akan ada intervensi yang mengikat kedua belah pihak mitra untuk melaksanakan hak kewajiban secara adil dan setara sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan. (ADW).

Hubungan kemitraan dalam model bisnis berbasis ekonomi gig pada perusahaan platform dipandang memberikan fleksibilitas atau kebebasan bagi para pekerjanya. Di samping kebebasan dalam menentukan waktu kerja, para pekerja gig dianggap bebas untuk menggunakan kesempatan bekerja pada platform sebagai pekerjaan sampingan. Penelitian IGPA MAP Fisipol UGM pada tahun 2020 menemukan bahwa hubungan kerja pada model bisnis platform di industri layanan antarpenumpang, antarmakanan, dan antarbarang tidak benar-benar memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi pekerja gig untuk menentukan waktu kerja. Selain itu, hubungan kemitraan antara pekerja gig dengan perusahaan platform seperi Gojek, Grab, dan Maxim berlangsung tidak setara, oleh karena semua keputusan dan kontrol kerja dimonopoli oleh perusahaan platform. Kondisi hubungan kemitraan tersebut jika dilihat dalam kaca mata hukum, bertentangan dengan prinsip-prinsip kemitraan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 yaitu hubungan yang setara dan saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Tidak dijalankannya prinsip-prinsip kemitraan dalam “hubungan kemitraan” telah membuat tercerabutnya hak-hak yang harusnya didapat oleh pekerja gig.

Persoalan tentang hubungan kemitraan dalam kerja yang dilakukan oleh ojek online atau kurir menjadi penting untuk didiskusikan secara bersama untuk mencari alternatif kebijakan yang tepat. Apalagi saat ini, sektor ekonomi gig telah menyerap lebih dari 4 juta pekerja di Indonesia, dan ke depan akan terus mengalami trend peningkatan. Sebagai ruang dialektika, Policy Forum yang diselenggarakan oleh IGPA MAP Fisipol UGM akan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendiskusikan tentang sengkarut hubungan kemitraan dan alternatif kebijakan dalam ekonomi gig di Indonesia.

Policy Forum dalam edisi kali ini akan diselenggarakan pada Kamis, 30 September 2021, pukul: 09:00 WIB. Pendaftaran: bit.ly/3nPxV18

Diskusi terbuka untuk Umum.

Pandemi COVID-19 telah berdampak tidak hanya ke persoalan kesehatan, tetapi juga ekonomi. ILO menyebut bahwa secara global ada 255 juta orang dirumahkan akibat pandemi pada tahun 2020. Sementara itu, kebijakan jaga jarak fisik sebagai cara menekan penyebaran infeksi SARS-CoV2 telah memicu penurunan pendapatan bagi pekerja informal, salah satunya adalah pekerja gig di sektor layanan antarpenumpang, antarbarang, dan antarmakanan.

Selama masa pandemi, pekerja gig yang bermitra dengan Gojek, Grab, Maxim, InDriver, dan juga yang lain, ditempatkan sebagai pekerja esensial atau penting, oleh karena peran mereka dalam mengantarkan makanan atau barang ketika masa pembatasan sosial seperti PSBB dan PPKM dijalankan. Akan tetapi, peran penting dari Ojol atau kurir tersebut tidak dibarengi dengan pendapatan yang layak dan perlindungan kerja yang setimpal.

Untuk mendiskusikan tentang persoalan yang dialami pekerja gig di tengah pandemi COVID-19, Insitute of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Policy Forum pada 10 Agustus 2021. Policy Forum merupakan agenda rutin dari IGPA MAP Fisipol UGM untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders) guna mendiskusikan suatu masalah publik. Dalam Policy Forum tentang pekerja gig ini, menghadirkan Ahmad Yani (Direktur Angkutan Jalan, Kemenhub), Ari Hernawan (Peneliti Tamu di IGPA MAP Fisipol UGM & Guru Besar Hukum Perburuhan UGM), Media Askar (Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM), dan KeJO_Online (Perwakilan dari Ojol yang bermitra dengan Gojek dan Grab). Sementara itu, perwakilan dari perusahaan platform tidak berkenan hadir dalam Policy Forum tersebut.

Ahmad Yani menyebut bahwa pandemi COVID-19 memang telah menurunkan pendapatan pekerja gig, tapi di sisi lain, meningkatkan layanan antarmakanan dan antarbarang dari perusahaan platform. Itu terjadi karena ada kebutuhan dari warga selama pandemi untuk menggunakan layanan antarbarang dan antarmakanan, guna menjalankan jaga jarak fisik.

Menurut Ahmad Yani, untuk mengatur tata kelola ekonomi gig di Indonesia diperlukan dua bentuk pengaturan, yaitu berupa payung hukum berupa regulasi dan terkait proses bisnis. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 untuk memberi payung hukum penggunaan sepeda motor dalam melayani masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Akan tetapi, pengaturan terkait proses bisnis dari perusahaan seperti Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain sampai saat ini masih belum ada.

Untuk dapat menata ekonomi gig agar berjalan dengan baik, maka diperlukan koordinasi antarkementerian, tidak Kementerian Perhubungan saja” ungkap Yani. Ia menekankan bahwa dalam tata kelola ekonomi gig, ada kewenangan dari Kementerian Informasi dan TIK, Kementerian Ketenagakerjaan, KPPU, hingga Kementerian Koperasi, sehingga diperlukan koordinasi lintas-kementerian guna mengelola dan mengatur ekonomi gig secara baik.

Ari Hernawan, sebagai pemantik kedua, memaparkan tentang temuan penelitian yang dilakukan bersama tim peneliti di IGPA MAP Fisipol UGM. Dalam penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pekerja gig itu menunjukkan adanya penurunan pendapatan hingga 67% dari pekerja gig atau ojek online (Ojol) yang bermitra dengan Gojek, Grab, dan Maxim. “Yang menarik, trend penurunan pendapatan itu tidak hanya terjadi akibat pandemi COVID-19, tapi juga karena apa yang kami sebut sebagai diakhirinya periode bulan madu atau bakar-bakar uang dari perusahaan platform” sebut Ari Hernawan. Akhir dari periode bulan madu itu dapat terlihat dari mulai diturunkannya insentif/bonus, ditingkatnya potongan untuk Ojol yang saat ini sekitar 20%, dikuranginya promosi, direkrutnya banyak mitra driver, dan juga yang lain, yang berakibat pada penurunan pendapatan Ojol.

Terkait persoalan regulasi, Guru Besar Hukum Perburuhan UGM itu menyebut belum ada payung hukum yang kuat guna memastikan ekonomi gig di Indonesia berjalan dengan adil dan belum ada penegakan hukum secara menyeluruh. Dalam hal hubungan kemitraan, telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang prinsip-prinsip kemitraan, namun berjalannya kemitraan antara Ojol dengan perusahaan platform tidak berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena pihak perusahaan platform memonopoli proses pengambilan keputusan dan kepengaturan kerja secara sepihak, tanpa melibatkan mitra mereka, yaitu Ojol. Begitupula terkait pelaksanaan Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang penentuan tarif dasar, yang di banyak kasus masih dilanggar oleh perusahaan platform tapi tidak ada penegakan hukum secara tegas.

Hal senada juga disampaikan oleh pemantik ke tiga, Media Askar, yang menyebut bahwa kerentanan kerja terjadi karena penentuan tarif yang rendah, terutama bagi pekerja gig dengan low-skill. Dalam konteks pandemi COVID-19, “justru pekerja gig dengan high-skill seperti programmer atau data analyst yang saat ini banyak dibutuhkan dan pendapatan mereka cenderung tinggi” sebut Media. Walaupun begitu, ekonomi gig dengan kualifikasi pekerja low-skill tetap menyerap banyak tenaga kerja saat pandemi, akan tetapi persoalan yang dihadapi adalah upah/tarif yang rendah, beban kerja yang tinggi, hingga kontrak kerja yang fleksibel yang cenderung mengarah ke kerja tanpa perlindungan.

Dari sisi pengalaman pekerja gig, KeJO_Online menyebut kondisi kerja yang rentan memang terjadi, akan tetapi ada sistem yang didesain oleh perusahaan platform uantuk membuat para Ojol berkompetisi satu sama lain agar akunnya menjadi “gacor” atau “gampang cari orderan”. “Jika akunnya gacor, jadinya pendapatannya menjadi lumayan, karena tiap hari dapat banyak orderan” sebut KeJO. Namun, tidak semua Ojol akunnya gacor, banyak juga yang akunnya “gagu” atau “anyep” karena jarang dapat orderan, sehingga membuat pendapatan hariannya seringkali kecil atau tidak mencukupi untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Di tengah berbagai persoalan dalam ekonomi gig, KeJO menilai yang saat ini dibutuhkan adalah pemberian jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja bagi Ojol. “Itu penting, karena pekerjaan di jalan ini risikonya tinggi, lengah dikit bisa ditabrak mobil, lengah sedetik aja bisa kecelakaan” ungkap KeJO.

Sementara bagi Ahmad Yani, di tengah pandemi Kemenhub telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi pekerja gig. Salah satunya adalah dengan menghimbau kepada perusahaan platform untuk memberi bantuan langsung ke Ojol/kurir dan menurunkan potongan sebesar 20% yang saat ini diterapkan di Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain.

Sedangkan menurut Ari Hernawan, berdasarkan hasil penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM, alternatif kebijakan yang dapat diterapkan guna melindungi Ojol dan kurir adalah menerapkan “jaminan pendapatan dasar” (Japeda) dan memperjelas status kerja dari pekerja gig.

Cara menghitung Japeda dalam konteks Ojol, sudah tersurat dalam Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang formula menghitung biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kebutuhan masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Japeda salah satunya sebagai koreksi dalam implementasi Permenhub tersebut yang saat ini digunakan untuk mengatur tarif dasar Ojol yaitu antara 1.800/km – 2.500/km, yang diperlukan bukan mengatur jarak per km saja, tetapi juga mengatur jaminan pendapatan dasar yang perlu dipenuhi oleh perusahaan platform per minggu/bulan ke Ojol berupa jumlah orderan minimal. “Dengan adanya jaminan pendapatan dasar yang wajib dipenuhi oleh perusahaan, maka ada keamanan dan perlindungan kerja bagi Ojol” sebut Ari Hernawan.

MAP Corner dan Klub MKP menyelenggarakan diskusi dengan tema Agama, Komodifikasi dan Kekuasaan. Diskusi ini mendatangkan Abdul Gaffar Karim, dosen DPP UGM sebagai pemantik diskusi. Diskusi ini merupakan bagian dari peringatan 20 tahun reformasi.

Sebagai permulaan, Gaffar menceritakan tentang sejarah kemunculan hubungan antara agama dan politik. Berdasarkan penelusuran literatur yang ia lakukan, ada kaitan antara perkembangan agrikultur dengan politik dan agama. Ini dikarenakan agrikultur (cocok tanam) menimbulkan kelebihan makanan untuk disimpan. Ini berbeda dengan cara hidup sebelumnya, yaitu berburu. Kebutuhan untuk mengelola simpanan makanan ini memunculkan benturan kepentingan yang disebut politik.

Aktivitas agrikultur dalam perjalanannya mendapatkan berbagai gangguan dari alam, yaitu hujan, banjir, angin, hingga badai. Faktor inilah yang membuat manusia mulai memikirkan adanya kekuatan yang berada jauh di luar kendalinya. Lalu muncullah dewa-dewa. Gaffar kemudian menyimpulkan bahwa, politik dan agama lahir dari rahim yang sama.

Kemudian, Gaffar menyampaikan pedapatnya bahwa maraknya kasus politisi yang menjadikan agama sebagai komoditas politik disebabkan oleh sifat agama yang memiliki likuiditas tinggi. Hal tersebut kemudian menyebabkan agama cepat sekali dipakai untuk kepentingan ekonomi dan politik. Misalnya, untuk kepentingan ekonomi, baru-baru ini muncul produk kulkas halal. Ada juga produk lain yang muncul lebih dulu seperti kosmetik halal, parfum halal, dan ojek syariah.

Dari segi kepentingan politik, agama adalah bahan bakar mesin politik yang efektif. “Ketika ingin menggunakan nasionalisme sebagai dasar perjuangan politiknya, orang harus bekerja keras. Itulah kenapa politisi yang malas menggunakan agama. Bahan-bahannya sudah siap.  Menanggapi, larangan berbicara politik di rumah agama. Gaffar berpendapat bahwa tidak mungkin sebuah rumah ibadah tidak berbicara politik. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah membuat agama bisa mendorong politik ke arah yang lebih produktif, bukan merusak.

Untuk menutup diskudi Gaffar menjeaskan tiga risiko utama Apabila kita memainkan isu agama demi kekuasaan. Pertama, risiko minimal berupa melemahnya kontrol. Masyarakat tidak lagi mengawal politisi. Padahal, demokrasi memerlukan keraguan. Warga yang kritis terhadap pemimpin akan lebih berguna dalam sistem demokrasi daripada hanya mendukung. Kalau orang berkuasa tapi tidak ada kritik terhadapnya, maka rusak segala urusan.

Risiko yang kedua adalah adanya tensi politik yang berkepanjangan. Konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 bahkan masih terasa hingga sekarang. Pendukung pihak yang menang akan cenderung membungkam kritik pihak yang kalah. “Sekarang kalau orang mengkritik, selalu ditanya: lalu apa solusinya? Demokrasi tidak menuntut rakyat mencari solusi. Demokrasi butuh kritik. Solusinya ya dipikirkan penguasa yang sudah dibayar dengan uang rakyat.

Terakhir, risiko yang paling fatal adalah kehancuran negara. “Tidak perlu menunggu tahun 2030 kalau komodifikasi agama terus dijalankan. Kita sudah melihat India dan Pakistan berpisah hanya karena agama. Kita tidak bisa bermain-main. Ini sudah ada dalam sejarah dunia. Jangan mengira Indonesia sudah aman dari risiko ini.