Bulletin Insight pada edisi 4(2) 2023 mengulas tentang kondisi pekerja informal di DI Yogyakarta. Dalam edisi ini, ada dua artikel hasil penelitian yang ditulis oleh mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik (MIAP) Universitas Gadjah Mada, yaitu:

  1. Dinamika Kelas Sosial Perkotaan: Produksi dan Reproduksi Petty Commodity Producers Bubur Kacang Ijo (Burjo) di Yogyakarta,
    Dian Silviani, Dina Melisa Hardiyanti, & Christinne Greyssye Fatubun
  2. Realitas Kondisi Buruh Gendong dalam Perspektif Ekonomi Politik,
    Lina Putri Prabawati, Sepriza Elysa, & Siti Nurhidayah

Untuk membaca Bulletin Insight edisi 4(2), dapat diunduh di sini: INSIGHT 4(2) – Kondisi Pekerja Informal di Jogja_Studi Kasus Buruh Gendong dan Penjual Burjo

Judul: Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig di Indonesia
Editor: Ari Hernawan, Arif Novianto, & Anindya Dessi Wulansari
Penerbit: IGPA Press
Terbal: 222 halaman

INFORMASI BUKU:
Hubungan kemitraan sejak booming layanan transportasi online menjadi semakin menyebar luas. Tren mengklasifikasikan pekerja sebagai “mitra” kini menjadi jamak ditemui. Persoalan muncul, ketika para pekerja yang diklasifikasikan sebagai mitra tidak mendapatkan hak sebagai mitra. Pada praktiknya, hubungan kemitraan justru digunakan oleh perusahaan untuk mengalihkan risiko bisnis ke pekerja. Pada konteks tersebut, yang berjalan adalah kemitraan semu bukan kemitraan sejati.

Buku “Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig di Indonesia” menghadirkan narasi kritis dalam melihat hubungan kemitraan. Buku ini ditulis secara kritis oleh para akademisi dan aktivis. Buku dapat didownload atau unduh secara gratis di sini: Ebook_Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig di Indonesia_IGPA Press_2024

PERHATIAN: sangat disarankan untuk menyebarluaskan ebook buku ini 📢

Institutionalizing Smart City: a city and a municipality perspective 

Bima Katangga, S.IP, MPA. Sania Octa Priscilia, S.A.P dan Andre Lofika Pegi, S.AP

 

Penelitian ini mengkaji implementasi konsep smart city di Kota Yogyakarta dengan fokus pada fenomena-fenomena yang muncul selama proses penerapan. Berdasarkan temuan awal, penelitian ini menyoroti beberapa masalah krusial seperti kesalahpahaman konsep smart city, paternalisme dalam pengambilan keputusan, governmentality dalam regulasi dan perencanaan, serta kurangnya penetapan target dan indikator penilaian kesuksesan. Melalui pendekatan analisis interpretatif mendalam, studi ini bertujuan untuk menjelaskan kompleksitas dan ambiguitas dalam perencanaan dan pelaksanaan kota pintar di Kota Yogyakarta, menekankan perlunya pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif.

 

Institutionalizing Smart City: a city and a municipality perspective 

Bima Katangga, S.IP, MPA. Sania Octa Priscilia, S.A.P dan Andre Lofika Pegi, S.AP

 

This study aims to explain the complexity and ambiguity in smart city planning and implementation in Yogyakarta City, emphasizing the need for a comprehensive and collaborative approach. We examine the implementation of the smart city concept Through an in-depth interpretive analysis approach. Our study focused on the issues that arise during the implementation of smart city in Yogyakarta City. Our findings highlight several crucial problems such as misunderstanding of the smart city concept, paternalism in decision making, governmentality in regulations and planning, as well as the lack of target setting and success assessment indicators. 

“Mapping Out the Policy Stakeholder Perspective on a Transport Infrastructure Development: Case Airport Dhoho Kediri”

Dr. Yuyun Purbokusumo, M.Si, Kurnia Cahyaningrum Effendi, SIP, MPA, Marzuki, S. AN

Pengembangan Bandara Dhoho Kediri yang didanai melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, pembangunan bandara ini juga menimbulkan risiko dan biaya pada sektor ekonomi, lingkungan, dan budaya. Penelitian ini melalui kajian pustaka bertujuan untuk memahami perspektif para pembuat kebijakan dalam pengembangan bandara dan hubungan dengan para pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa kepentingan publik diprioritaskan. Perjalanan dari awal hingga pembangunan sangat kompleks, mulai dari implementasi KPS yang disebabkan oleh pembebasan lahan dari badan usaha dan penyerahan aset dan lahan kepada pemerintah hingga respon masyarakat yang bergejolak. Para pemangku kepentingan sepakat bahwa pembangunan bandara ini memberikan manfaat, namun proses pembangunannya diwarnai gejolak dan konflik kepentingan. Temuan-temuan ini akan digunakan sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah Indonesia dalam merencanakan pembangunan infrastruktur.

“Akhir dari Pekerjaan Layak?: Dampak Informalisasi dan Kemitraan Semu terhadap Kondisi Pekerja berstatus Mitra di Indonesia”

Tim: Yeremias T. Keban, Susetyawan, Arif Novianto, Fiky Yudhistira, dan Indri Islamiati

Status : Sudah terlaksana

Penelitian ini menemukan beberapa hal:

  1. Pekerja berstatus “mitra” tidak mendapatkan hak-haknya sebagai mitra. 

Para pekerja yang berstatus mitra, tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang diatur dalam regulasi dan dalam esensi hubungan kemitraan. Alih-alih memiliki posisi yang setara dengan perusahaan dalam setiap pengambilan keputusan, relasi antara perusahaan dengan pekerja berstatus mitra sangatlah timpang. Sebanyak 69,4 persen responden, bahkan tidak memiliki hak untuk mendiskusikan perjanjian kemitraan dan proses kerja. Akibat status sebagai mitra, maka para pekerja tidak mendapatkan hak-hak kerja layak, seperti upah minimum, jaminan sosial, hak libur tetap dibayar, cuti haid, waktu kerja 40 jam/minggu, dan yang lain. Status mitra justru membuat sebanyak 78,9% pekerja harus menyediakan sarana kerjanya sendiri.

  1. Informalisasi atau pengklasifikasian pekerja sebagai “mitra” telah menjauhkan pekerja dari kondisi kerja yang layak dan adil, sehingga telah menyebabkan terjadinya super-eksploitasi. 

Proses informalisasi atau pengubahan klasifikasi pekerja formal menjadi informal, berlangsung meluas sejak era booming ekonomi gig. Sejak tahun 2020/2021, sebagian besar kurir yang sebelumnya berstatus sebagai pekerja tetap/kontrak, diubah klasifikasinya sebagai mitra. Informalisasi tersebut telah menciptakan terjadinya praktik super-eksploitasi, yang terlihat dalam tiga hal. Pertama, terjadinya praktik intensifikasi kerja, baik melalui target kinerja yang ditingkatkan dan juga melalui gamifikasi yang membuat para pekerja bekerja semakin intensif; Kedua, ekstensifikasi kerja yang membuat pekerja berstatus mitra bekerja semakin lama. Pada Juni 2021, rata-rata waktu kerja pekerja berstatus mitra di sektor pengantaran barang dan penumpang adalah 10 jam 22 menit per hari dan meningkat menjadi 11 jam 12 menit per hari pada Juni 2023. Ketiga, bayaran yang diterima oleh pekerja berstatus mitra, cenderung semakin dibawah komponen hidup layak. Selain itu, akibat status sebagai mitra, maka risiko kerja semakin banyak yang ditanggung oleh pekerja.

  1. Tidak adanya penegakan hukum oleh pemerintah yang dipengaruhi kuatnya kekuatan modal dibanding kekuatan pekerja, telah membuat praktik kemitraan semu berlangsung

Berlangsungnya praktik kemitraan semu, yang mana pekerja berstatus mitra dilanggar hak-haknya oleh perusahaan, dimungkinkan untuk terjadi karena sedikitnya perlindungan dan penegakan hukum dari pemerintah. Kondisi itu terjadi, karena kekuatan modal/pemberi kerja lebih kuat dibandingkan kekuatan pekerja. Hal itu terlihat dari keterlibatan dalam organisasi (komunitas formal dan serikat pekerja), di mana 11,4 persen, sementara sebanyak 88,6 persen. Lemahnya gerakan atau kekuatan pekerja, telah membuat pemerintah menjadi cenderung untuk membiarkan praktik kemitraan semu berlangsung, dengan berbagai alasan tertentu.

“Mapping Out The Indonesian Policy Makers’ Perceptions On Electric Vehicles And Energy Transition”

Tim : 

Wahyudi Kumorotomo, R.Derajad S. Widhyharto,  Kurnia Cahyaningrum Effendi, Marzuki, 

Dian Silviani 

partner

 

abstraksi

Indonesia bertujuan untuk mencapai nol emisi karbon bersih pada tahun 2060 dengan mempercepat transisi energi hijau melalui pengembangan kendaraan listrik. Namun, proses ini menghadapi tantangan seperti konflik kepentingan antara sektor yang mendukung dan menentang kendaraan listrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perspektif para pembuat kebijakan dalam pengembangan kendaraan listrik nasional di Indonesia dan hubungan mereka untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, termasuk wawancara dengan lebih dari 36 informan dari berbagai sektor dan analisis data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendaraan listrik dapat mengurangi emisi, mendiversifikasi sumber energi, menstimulasi perekonomian, mendorong kemajuan teknologi, dan mengatasi hambatan regulasi. Namun, proses kebijakan untuk transportasi darat didominasi oleh pendekatan top-down, yang mengindikasikan adanya potensi konflik kepentingan antara pemerintah dan industri. Temuan-temuan ini akan digunakan sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah pusat untuk mengembangkan sektor kendaraan listrik secara berkelanjutan.

 

Tata kelola pemerintahan cerdas, sebuah paradigma pemerintahan baru yang muncul dari persoalan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan, akibat pesatnya urbanisasi, globalisasi, dan inovasi teknologi. Bulletin Insight edisi Vol 4(1) Juli 2023 mengangkat tata kelola pintar yang berkembang dalam koridor kota pintar dewasa ini melalui desk study smart governance dikaji Kurnia Cahyaningrum Effendi dan Melda Fadiyah Hidayat yang merupakan alumni S2 MAP UGM maupun Dewi Sekar Kencono, mahasiswa S3 IAP UGM.

Para penulis menawarkan analisis melalui Amsterdam Smart City (ASC)—yang tidak terpisahkan dari smart governance baik di Kota Amsterdam maupun perkembangan tata kelola pintar di beberapa kota di Indonesia untuk meningkatkan pemahaman kita tentang berbagai konseptualisasi yang berkaitan dengan tata kelola pintar dengan konteks sosial politik kota-kota tersebut merupakan hal yang menantang sebagai akibat dari sifat tata kelola kota pintar yang rumit dan membingungkan. Lebih detail lagi terkait pembelajaran inisiatif kota pintar kajian praktik tata kelola pintar di Kota Amsterdam dan beberapa Kota di Indonesia, Bulletin Insight Vol 4(1), silahkan dapat diunduh di sini: Download Insight edisi Juli 2023

Buku bunga rampai “Menyoal Kemitraan dan Ekonomi Berbagi dalam Kerja Gig di Indonesia” yang akan diterbitkan oleh IGPA Press, bagian penerbitan dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP Fisipol Universitas Gadjah Mada, telah sampai ke tahap berikutnya. Tim editor IGPA MAP Fisipol UGM telah memilih 12 abstrak dan draft tulisan dengan pertimbangan kesesuaian tema, keberagaman isu, dan analisis kritis dari puluhan abstrak dan draft tulisan yang diterima.

Kesemua abastrak dan draft tulisan yang dikirimkan oleh para penulis begitu menarik, akan tetapi tidak mungkin kami menerima kesemuanya, sehingga kami memutuskan memilih 12 draft naskah sebagai berikut:

No Nama Judul Tulisan

1 Alih Aji Nugroho Eksklusi Petani pada Industri Kelapa Sawit: Dalih Kemitraan pada Perkebunan Inti-Plasma Skema Kredit Koperasi Primer Anggota
2 Ali Roziqin, Ach. A, Romadhan, & Dedik F. Suhermanto Global Gig Economy: Analisis & Masa Depan dari Pemetaan Riset tentang Ekonomi Gig
3 Asri Pratiwi Wulandari Semakin Mandiri atau Merugi?: Kerentanan Pekerja Rumah Tangga yang Semakin Kompleks dalam Model Kemitraan Aplikasi Daring
4 Deda R. Rainditya Kontradiksi Ekonomi Berbagi: Eksploitasi Kelas Rentan Berbasis Kemitraan dan Transformasi Ekonomi Neoliberal
5 Firas Arrasy dan Karunia Haganta Menutup Ketidakpastian dengan Ketidakpastian: Meninjau Persoalan “Pemberdayaan Perempuan” dalam Kemitraan Miss Cimory
6 Haening Ratna Sumiar Terpaksa Bekerja di Usia Senja: Studi Kerentanan Pengemudi Online Lanjut Usia
7 Hizkia Yosias Polimpung Akar Intelektual dari (Kemunduran) Politik Kelas Pekerja: Kritik Kajian-Kajian Kritis Seputar Ekonomi Gig di Indonesia
8 Muhammad Sidratul Muntaha Idham Diperdaya Algoritma Mesin Pencari: Kerentanan Mitra Bisnis Ekonomi  Berbagi pada Media Daring di Indonesia
9 Nabiyla Rifka Izzati Melihat Tukang Pijat Bekerja: Bagaimana Mantan Mitra GoMassage Bertahan Tanpa Platform
10 Paschalis Adventra Menilik Tetes Keringat Pedagang Cilok dan Bakwan Kawi Keliling: Mitra Atau Buruh Terselubung
11 Raymond J. Kusnadi Serikat Pekerja vs. Perusahaan Platform: Catatan tentang Perjuangan SPAI & Persoalan dalam Mendorong Keadilan bagi Pengemudi Ojol
12 Surya Eulogia Nolinia Zega Ilusi Feminisasi Kerja: Kerawanan Kerja Yakult Lady Akibat Sistem Kerja Gig dan Ketiadaan Perlindungan di Ranah Reproduksi Sosial

*urutan draft naskah terpilih berdasarkan abjad nama penulis

Selamat untuk draft naskah yang terpilih. Untuk draft naskah yang belum terpilih, jangan berkecil hati, semoga naskah tersebut nantinya dapat menemukan rumah lain untuk terbit. Terima kasih telah berkenan mengirimkan ide dan gagasannya ke kami.

Untuk draft naskah terpilih, selanjutnya akan kami hubungi melalui email.

Dalam berjalannya transportasi berbasis platform di Indonesia, penentuan tarif dibagi dalam tiga layanan, yaitu layanan antar penumpang, barang, dan makanan. Dalam layanan antar penumpang, tarif ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) PM No. 12 Tahun 2019. Kemudian aturan tersebut diturunkan dalam Keputusan Menteri perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019 yang membagi penentuan tarif layanan antar penumpang menjadi tiga zona, dengan tarif dasar dan tarif batas atas-bawah yang berbeda. Sementara tarif layanan non-penumpang orang, yaitu barang dan makanan, diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 01 Tahun 2012, yang merupakan turunan dari UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos. Dalam aturan tersebut, penentuan tarif antar barang dan makanan diserahkan kepada mekanisme pasar. Artinya pemerintah tidak melakukan intervensi penentuan tarif, dengan pertimbangan bahwa kompetisi yang sempurna dan hukum permintaan-penawaran akan menciptakan besaran titik keseimbangan tarif yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak (Novianto, 2022).

Pada praktiknya, dua bentuk mekanisme penentuan tarif saat ini belum menciptakan pendapatan yang layak bagi pengemudi online. Mekanisme pertama, penentuan tarif dasar dan batas atas-bawah oleh pemerintah pada layanan antar penumpang memiliki beberapa persoalan: 1) tarif hanya ditetapkan berdasarkan jarak per km, tidak menetapkan biaya tunggu, biaya jika ada pembatalan pesanan, dan biaya kompensasi waktu tanpa orderan; 2) penetapan tarif per km telah dihitung berdasarkan komponen biaya jasa, akan tetapi tidak dibarengi jaminan jumlah orderan minimal untuk pengemudi online agar memastikan mereka memiliki pendapatan yang layak; 3) tarif per km yang ditetapkan masih cenderung murah, sehingga memaksa pengemudi bekerja lebih lama guna memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mekanisme kedua, penentuan tarif yang diserahkan kepada pasar dalam layanan antar barang dan makanan memiliki persoalan yang sama dengan mekanisme pertama, dan justru lebih buruk lagi. Ketiadaan tarif batas bawah, telah memicu kompetisi di antara perusahaan platform untuk menurunkan tarif bagi pengemudi, sehingga tarif menjadi lebih rendah dibanding layanan antar penumpang.

Untuk membaca Bulletin Insight, Vol. 3 (1) edisi Juli 2022 yang ditulis oleh Arif Novianto (Peneliti Muda di Institute of Governance and Public Affairs, MAP Fisipol UGM) silahkan dapat diunduh di sini: Download Bulletin Insight: Mengurai Persoalan Tarif Murah bagi Pengemudi Online di Indonesia

_________
Selamat membaca, jika bermanfaat dan berkenan silahkan dapat dibagikan ke kawan-kawan yang lain.
Untuk mengunduh dan membaca edisi Bulletin Insight terbitan IGPA yang lain, silahkan dapat diakses DI SINI.

Penelitian tentang Penurunan Pemahaman Siswa Sebagai Dampak Pembelajaran Daring Era COVID-19 (Learning Loss) 

Dari April 2021 hingga Januari 2022, IGPA dan Institut Forbil bekerja sama untuk melakukan penelitian tentang pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal Ini didasari oleh upaya pemerintah untuk menghentikan penyebaran COVID-19 yang menjadi pandemi internasional di Indonesia dengan menerapkan pembatasan sosial, yang telah menimbulkan masalah baru bagi dunia pendidikan, terutama sekolah formal. Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 03/KB/2019 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Coronavirus Disease 19 (Covid-19), telah ditetapkan secara hukum bahwa pendidikan jarak jauh adalah wajib. Pada Maret 2020, sebanyak 25,49 juta siswa Sekolah Dasar (SD), 10,13 juta siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), 7,78 juta siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 4,9 juta siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) telah menggunakan pembelajaran online. Proses belajar mengajar yang selama ini dilakukan di dalam kelas dengan adanya interaksi antar-siswa maupun siswa dengan guru dialihkan menjadi proses belajar menggunakan piranti digital sebagai mediator pertemuan. Kebijakan ini mengakibatkan sSiswa, guru, dan orang tua menghadapi kesulitan karena perbedaan faktor sosial dan ekonomi masyarakat.  Publikasi “Policy Brief SURVEI: Penurunan Pemahaman Siswa Sebagai Dampak Pembelajaran Daring Era COVID-19 (Learning Loss) pada bulan Januari 2022 yang dapat diunduh melalui: http://tinyurl.com/LearningLossEraCOVID-19