Perubahan dari masa Orde Baru menuju Reformasi, turut membentuk kepengaturan ulang bagi berjalannya akumulasi kapital dan relasi kekuasaan negara. Pada masa Orde Baru kekuasaan berjalan secara terpusat. Kebijakan publik menjadi kewenangan tunggal dari pemerintah di bawah kendali rezim otoritarian Soeharto. Walaupun liberalisasi pasar telah dibuka di pertengahan 1980-an, akan tetapi kepentingan akumulasi kapital harus bernegosiasi dengan rezim penguasa agar mendapatkan konsesi. Sementara kuasa pendisiplinan oleh negara menjadi piranti agar rakyat menuruti kehendak penguasa. Proses demokrasi dikekang dengan dalih stabilitas dan pembangunan ekonomi nasional. Gerakan rakyat didepolitisasi dengan kebijakan massa mengambang (floating mass). Namun pada perkembangannya, perlawanan terhadap kuasa negara-kapitalistik versi Orde Baru tetap bermekaran.
Pada tahun 1998, kuasa negara yang telah dibangun dan dipertahankan selama lebih dari 32 tahun pada akhirnya runtuh oleh angin perubahan. Krisis ekonomi, gerakan rakyat dan perpecahan di kelas elite menjadi pemantik jatuhnya rezim Soeharto. Seperti bunga di musim semi, cita-cita perubahan tumbuh bermekaran menghiasi era baru yang disebut “Reformasi”. Proses demokratisasi secara politik mulai terjadi. Akan tetapi bunga-bunga yang mekar itu mulai layu ketika ketimpangan ekonomi justru semakin melebar, ekonomi nasional terkoyak, dan pemaksaan “pembangunan” untuk tujuan akumulasi kapital telah mengorbankan rakyat kecil. Dapat dibilang, setelah terjerat oleh kuasa negara, Indonesia kini terkerangkeng dalam rezim dominasi pasar.
Buku yang hadir dihadapan pembaca ini mengulas tentang kebijakan publik di Indonesia yang berada dalam pusaran perubahan ideologi dari kuasa negara ke dominasi pasar. Perubahan rezim dan relasi kuasa, turut merubah proses kepengaturan yang dilakukan oleh negara, kekuatan bisnis, dan gerakan rakyat. Buku ini dengan pendekatan studi kritis, analisis historis dan komparatif menyediakan analisis  tajam terhadap kondisi ekonomi politik Indonesia pasca 20 tahun Reformasi. Buku ini menunjukan bahwa di tengah keruwetan politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia, selalu ada alternatif lain untuk membawa perubahan ke arah keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi  sebagian besar rakyat.

MAP Corner and MKP Club held discussions on the theme of Religion, Commodification and Power. This discussion brought Abdul Gaffar Karim, a lecturer of DPP UGM as a lighter discussion. This discussion is part of the 20th anniversary of the reformation of Indonesia.

For starters, Gaffar tells about the history of the relationship between religion and politics. Based on his literature search, there is a link between the development of agriculture and politics and religion. This is because agriculture (cropping) causes excess food to be stored. This is different from the previous way of life, that is hunting. The need to manage these food deposits creates a clash of interests called politics.

Agricultural activities get various disturbances from nature, such as rain, flood, wind, to storm. This factor makes people start thinking about the power that is far beyond his control. Then came the gods. Gaffar then concluded that, politics and religion were born from the same womb.

Then, Gaffar conveyed his argument that the rise of politicians who make religion as a political commodity caused by the nature of religion that has high liquidity. This then causes religion to be quickly used for economic and political interests. For example, for the sake of the economy, recently appeared halal refrigerator products. There are also other products that appear earlier such as kosher cosmetics and halal perfume.

In terms of political interests, religion is the fuel of an effective political machine. When one wants to use nationalism as the basis of his political struggle, one must work hard. That’s why politicians are lazy to use religion. The ingredients are ready.
Responding to the ban on political talk in places of worship. Gaffar argues that it is impossible to implement. Instead, what needs to be done is to make religion encourage politics in a more productive, rather than destructive, direction.
To close the discussion Gaffar explains three major risks when we play the issue of religion for the sake of power. First, the minimal risk of weakening the control. Society no longer guards politicians. In fact, democracy requires doubts. Citizens who are critical of leaders will be more useful in a democratic system than simply supportive. If people are in power but there is no criticism against it, then it breaks all affairs.

The second risk is a prolonged political tension. Jakarta elections conflict 2017 even still felt until now. Winning party supporters will tend to silence critics of the losers. Now when people criticize, the government always asks: then what is the solution? Democracy does not require people to find solutions. Democracy needs criticism. The solution is yes thought of the ruler who has been paid with public money.

Finally, the most fatal risk is the destruction of the state. There is no need to wait for 2030 if the commodification of religion continues. We’ve seen India and Pakistan split up only because of religion.

MAP Corner dan Klub MKP menyelenggarakan diskusi dengan tema Agama, Komodifikasi dan Kekuasaan. Diskusi ini mendatangkan Abdul Gaffar Karim, dosen DPP UGM sebagai pemantik diskusi. Diskusi ini merupakan bagian dari peringatan 20 tahun reformasi.

Sebagai permulaan, Gaffar menceritakan tentang sejarah kemunculan hubungan antara agama dan politik. Berdasarkan penelusuran literatur yang ia lakukan, ada kaitan antara perkembangan agrikultur dengan politik dan agama. Ini dikarenakan agrikultur (cocok tanam) menimbulkan kelebihan makanan untuk disimpan. Ini berbeda dengan cara hidup sebelumnya, yaitu berburu. Kebutuhan untuk mengelola simpanan makanan ini memunculkan benturan kepentingan yang disebut politik.

Aktivitas agrikultur dalam perjalanannya mendapatkan berbagai gangguan dari alam, yaitu hujan, banjir, angin, hingga badai. Faktor inilah yang membuat manusia mulai memikirkan adanya kekuatan yang berada jauh di luar kendalinya. Lalu muncullah dewa-dewa. Gaffar kemudian menyimpulkan bahwa, politik dan agama lahir dari rahim yang sama.

Kemudian, Gaffar menyampaikan pedapatnya bahwa maraknya kasus politisi yang menjadikan agama sebagai komoditas politik disebabkan oleh sifat agama yang memiliki likuiditas tinggi. Hal tersebut kemudian menyebabkan agama cepat sekali dipakai untuk kepentingan ekonomi dan politik. Misalnya, untuk kepentingan ekonomi, baru-baru ini muncul produk kulkas halal. Ada juga produk lain yang muncul lebih dulu seperti kosmetik halal, parfum halal, dan ojek syariah.

Dari segi kepentingan politik, agama adalah bahan bakar mesin politik yang efektif. “Ketika ingin menggunakan nasionalisme sebagai dasar perjuangan politiknya, orang harus bekerja keras. Itulah kenapa politisi yang malas menggunakan agama. Bahan-bahannya sudah siap.  Menanggapi, larangan berbicara politik di rumah agama. Gaffar berpendapat bahwa tidak mungkin sebuah rumah ibadah tidak berbicara politik. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah membuat agama bisa mendorong politik ke arah yang lebih produktif, bukan merusak.

Untuk menutup diskudi Gaffar menjeaskan tiga risiko utama Apabila kita memainkan isu agama demi kekuasaan. Pertama, risiko minimal berupa melemahnya kontrol. Masyarakat tidak lagi mengawal politisi. Padahal, demokrasi memerlukan keraguan. Warga yang kritis terhadap pemimpin akan lebih berguna dalam sistem demokrasi daripada hanya mendukung. Kalau orang berkuasa tapi tidak ada kritik terhadapnya, maka rusak segala urusan.

Risiko yang kedua adalah adanya tensi politik yang berkepanjangan. Konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 bahkan masih terasa hingga sekarang. Pendukung pihak yang menang akan cenderung membungkam kritik pihak yang kalah. “Sekarang kalau orang mengkritik, selalu ditanya: lalu apa solusinya? Demokrasi tidak menuntut rakyat mencari solusi. Demokrasi butuh kritik. Solusinya ya dipikirkan penguasa yang sudah dibayar dengan uang rakyat.

Terakhir, risiko yang paling fatal adalah kehancuran negara. “Tidak perlu menunggu tahun 2030 kalau komodifikasi agama terus dijalankan. Kita sudah melihat India dan Pakistan berpisah hanya karena agama. Kita tidak bisa bermain-main. Ini sudah ada dalam sejarah dunia. Jangan mengira Indonesia sudah aman dari risiko ini.