Kondisi Kerja Ojol dan Sengkarut Hubungan Kemitraan dalam Ekonomi Gig di Indonesia
Institute Governance and Public Affairs (IGPA), Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan seminar bertajuk tata kelola hubungan kemitraan dalam ekonomi gig Indonesia. Acara ini merupakan rangkaian dari Dies Natalis Fisipol UGM ke-66. Webinar yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom pada 30 September 2021 dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan sambutan Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi. Acara kemudian dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Paripurna. Dalam sambutanya, Paripurna menekankan persoalan perubahan kultur kerja yang telah bergeser dari kerja formal menjadi kerja informal berbasis ekonomi digital. Peran serta pemerintah sebagai pemangku kebijakan sangat diperlukan untuk mencegah distorsi yang semakin dalam karena perbedaan antara kepentingan akumulasi profit yang dominan dan kepentingan untuk kondisi kerja layak pada sisi lainnya. Oleh karena itu, mekanisme bisnis yang ideal seharusnya didorong atas asas berimbang dan demokrasi yang telah termanifestasikan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Diskusi yang dimoderatori oleh Ferry Anggara, presenter TVRI Yogyakarta ini dihadiri oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Ida Fauziah sebagai keynote speaker. Ida memaparkan adanya perbedaan tiga aspek mendasar yang mengimplikasikan hak serta kewajiban antara hubungan kerja dan kemitraan dari sudut pandang ideal. Aspek tersebut meliputi perlindungan, bentuk penghasilan, dan perselisihan. Dalam kondisi normatif, hubungan kemitraan seharusnya memenuhi unsur perlindungan dalam bentuk kesepakatan, bentuk penghasilan yang didasarkan keberimbangan, dan perselisihan yang diselesaikan dalam bentuk kesepakatan antar-pihak yang bermitra. Meski berbeda dengan bentuk hubungan kerja antara buruh-pengusaha yang mengedepankan asas hukum industrial dalam ketiga konteks tersebut, hubungan kemitraan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM telah mencerminkan kondisi ideal dalam bisnis yang berbasis kesetaraan, saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Namun, Ida menjelaskan dalam konteks empiris, hubungan kemitraan khususnya dalam ekonomi gig telah menyimpang dari prinsip dasar kemitraan. Itu terjadi karena melimpahnya pasokan pekerja akibat bonus demografi yang membuat daya tawar pekerja gig menjadi lemah dihadapan perusahaan platform. Mereka terpaksa sepakat dengan pengaturan hubungan kemitraan secara sepihak oleh perusahaan agar dapat terus bekerja. Terakhir, sebagai colosing statement, Ida menekankan pentingnya mensejajarkan posisi tawar mitra melalui peran pemerintah. Upaya tersebut dapat dimulai melalui kewajiban perlindungan kerja serta jaminan kesehatan untuk mendisiplinkan posisi ekonomi satu pihak yang terlampau dominan.
Paparan materi webinar kemudian dilanjutkan oleh para pembicara dari sektor publik, akademisi, serta perwakilan asosiasi mitra platform ride-hailing. Keempat pembicara merepresentasikan pandangan optimisme dan posisi antisipatif. Pertama, perspektif optimisme terhadap mekanisme pasar disampaikan oleh Semuel Abrijani Pangarepan sebagai Dirjen Aplikasi Teknomogi dan Informasi Kominfo RI. Semuel yang telah berkecimpung selama 20 tahun sebagai pemimpin industri telekomunikasi, alih-alih menyoroti terkait posisi timpang dalam kemitraan perusahaan platform, justru memandang bahwa melalui hubungan kemitraan yang fleksibel ini orang-orang akan memiliki effort kerja yang lebih karena didorong oleh mekanisme hukuman (punishment), misalnya melalui putus mitra.
Mekanisme persaingan pasar bebas bagi Semuel adalah jalan terbaik untuk mencapai equilibrium, sejauh pemain pasar tidak hanya satu. Semuel menyebut: “Kalau menurut saya sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia ini, perusahaan membuat kebijakan berdasarkan data dari algoritma, selama ini tidak monopoli maka biarkan saja free market, toh kalau saya tidak suka dengan mereka maka saya akan pindah ke yang lainnya….”. Ini kemudian mengimplikasikan bahwa peran pemerintah dirasa belum terlalu perlu karena bisnis berbasis kemitraan sedianya telah lama berjalan bahkan sebelum hadirnya platform-platform ride-hailing.
Kedua, posisi antisipatif yang berkontradiksi dari pandangan sebelumnya, justru menganggap bahwa algoritma menjadi model bisnis yang berpotensi melemahkan posisi tawar satu pihak apabila tidak diregulasi. Afif Hasbullah, Komisioner KPPU RI dalam sudut pandang kelembagaan yang mengatur persaingan usaha, memaparkan bahwa pergeseran bisnis berbasis algoritma berpotensi untuk menciptakan kondisi one side market, di mana kondisi ini menjadikan posisi yang terlampau dominan dan berakhir pada kartel, sehingga perlu adanya regulasi antisipatif. Sejalan dengan hal tersebut, Wahyudi Kumorotomo (Guru Besar Fisipol UGM) menyoroti potensi oligopoli dalam model bisnis berbasis algoritma yang tidak diregulasi. Oligopoli ini misalnya telah terjadi dalam konteks GoTo (merger Gojek dan Tokopedia).
Pandangan yang memperkuat pentingnya antisipasi melalui intervensi pemerintah dalam konteks empiris diperkuat oleh paparan Taha Syafaril Anrousi, ketua umum Asosiasi Driver Online (ADO). Taha menyoroti beberapa poin relasi kuasa yang dominan dilakukan oleh platform dalam konteks kebijakan wajib menggunakan properti seragam yang harus dibeli sendiri oleh mitra pengemudi, suspend dan putus mitra sepihak, serta penentuan tarif sepihak yang tidak mempertimbangkan biaya operasional pengemudi mitra. Untuk memperjuangkan penerapan prinsip kemitraan yang adil selama ini ditempuh para mitra pengemudi melalui jalur protes atau aksi demonstrasi. Akan tetapi menurut Taha penting untuk pemerintah meregulasi hubungan kemitraan agar tercipta hubungan kemitraan yang sehat, sehingga meminimalisir konflik antara mitra dan pemilik platform.
Ari Hernawan guru besar hukum ketenagakerjaan UGM yang juga merupakan tim peneliti IGPA MAP Fisipol UGM dalam kajian “Di balik Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja Mitra Transportasi Online Indonesia” (2020), menekankan pentingnya peran negara dalam mengatur hubungan kerja antara mitra dan pemilik platform. Peran negara dapat diwujudkan dalam tiga alternatif kebijakan, yaitu: 1) bertahan dengan hubungan kemitraan, akan tetapi menetapkan peran pemerintah pada proses bisnis yang mengatur standar teknis operasional kerja, sementara dalam konteks kemitraan diatur dalam regulasi terpisah untuk menyeimbangkan posisi tawar mitra, salah satu contohnya adalah kebijakan upah minimum; 2) bergerak di ranah hubungan kerja, sepertihalnya hubungan kerja formal antara buruh dan pengusaha, sehingga dalam konteks hubungan industrial ditentukan oleh politicall will aktor tripatrit (pengusaha, pekerja, dan pemerintah) 3) berbagi peran kelembagaan, di mana ada pemisahan antara proses bisnis dan regulasi kemitraan yang didistribusikan pada Kementerian/ Lembaga sesuai dengan tupoksi.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut berlangsung interaktif, beberapa audiens antusias dalam memberikan komentar serta pertanyaan terkait dengan paparan materi pembicara. Beberapa pertanyaan serta diskusi diantaranya berkaitan dengan alternatif jalur litigasi yang memungkinkan dibawa pada ranah pengadilan untuk memasukkan gugatan hubungan kemitraan yang tidak seimbang sebagai alternatif proses hukum selama menunggu kekosongan regulasi. Selain itu, diskursus juga muncul dari forum tanya-jawab mengenai konsep otomatisasi berbasis integrasi antar-stakeholder melalui piranti digital. Konsep ini menawarkan kemudahan dalam menganalisis kekosongan dan urgensi kebijakan termasuk dalam konteks ekonomi gig, serta mempermudah mekanisme koordinasi berbasis digital. Ferry Anggara selaku pemandu diskusi, menutup diskusi dengan menarik kesimpulan bahwa ekonomi digital yang sedianya menyediakan peluang yang besar terlebih bagi keterbukaan sektor lapangan kerja perlu diimbangi dengan regulasi yang menciptakan keadilan dalam konteks hubungan kerja
Model bisnis berbasis ekonomi gig memang telah membawa transformasi besar yang menghubungkan banyak orang pada kesempatan kerja di tengah bonus demografi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar dibanding dengan kesempatan kerja pada sektor formal, membuka peluang platform berbasis massa (mass-based platform) untuk menarik banyak orang bergabung dalam relasi kerja baru berbentuk “kemitraan”. Akan tetapi, dalam konteks empiris prinsip dasar kemitraan hanya dilakukan sebagian saja, yaitu distribusi alat produksi, namun tidak dengan distribusi pendapatan layak dan kesetaraan posisi hubungan kerja. Melalui keterlibatan pemerintah dalam bentuk produk hukum, maka akan ada intervensi yang mengikat kedua belah pihak mitra untuk melaksanakan hak kewajiban secara adil dan setara sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan. (ADW).