Tata kelola pemerintahan cerdas, sebuah paradigma pemerintahan baru yang muncul dari persoalan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan, akibat pesatnya urbanisasi, globalisasi, dan inovasi teknologi. Bulletin Insight edisi Vol 4(1) Juli 2023 mengangkat tata kelola pintar yang berkembang dalam koridor kota pintar dewasa ini melalui desk study smart governance dikaji Kurnia Cahyaningrum Effendi dan Melda Fadiyah Hidayat yang merupakan alumni S2 MAP UGM maupun Dewi Sekar Kencono, mahasiswa S3 IAP UGM.

Para penulis menawarkan analisis melalui Amsterdam Smart City (ASC)—yang tidak terpisahkan dari smart governance baik di Kota Amsterdam maupun perkembangan tata kelola pintar di beberapa kota di Indonesia untuk meningkatkan pemahaman kita tentang berbagai konseptualisasi yang berkaitan dengan tata kelola pintar dengan konteks sosial politik kota-kota tersebut merupakan hal yang menantang sebagai akibat dari sifat tata kelola kota pintar yang rumit dan membingungkan. Lebih detail lagi terkait pembelajaran inisiatif kota pintar kajian praktik tata kelola pintar di Kota Amsterdam dan beberapa Kota di Indonesia, Bulletin Insight Vol 4(1), silahkan dapat diunduh di sini: Download Insight edisi Juli 2023

Buku bunga rampai “Menyoal Kemitraan dan Ekonomi Berbagi dalam Kerja Gig di Indonesia” yang akan diterbitkan oleh IGPA Press, bagian penerbitan dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP Fisipol Universitas Gadjah Mada, telah sampai ke tahap berikutnya. Tim editor IGPA MAP Fisipol UGM telah memilih 12 abstrak dan draft tulisan dengan pertimbangan kesesuaian tema, keberagaman isu, dan analisis kritis dari puluhan abstrak dan draft tulisan yang diterima.

Kesemua abastrak dan draft tulisan yang dikirimkan oleh para penulis begitu menarik, akan tetapi tidak mungkin kami menerima kesemuanya, sehingga kami memutuskan memilih 12 draft naskah sebagai berikut:

No Nama Judul Tulisan

1 Alih Aji Nugroho Eksklusi Petani pada Industri Kelapa Sawit: Dalih Kemitraan pada Perkebunan Inti-Plasma Skema Kredit Koperasi Primer Anggota
2 Ali Roziqin, Ach. A, Romadhan, & Dedik F. Suhermanto Global Gig Economy: Analisis & Masa Depan dari Pemetaan Riset tentang Ekonomi Gig
3 Asri Pratiwi Wulandari Semakin Mandiri atau Merugi?: Kerentanan Pekerja Rumah Tangga yang Semakin Kompleks dalam Model Kemitraan Aplikasi Daring
4 Deda R. Rainditya Kontradiksi Ekonomi Berbagi: Eksploitasi Kelas Rentan Berbasis Kemitraan dan Transformasi Ekonomi Neoliberal
5 Firas Arrasy dan Karunia Haganta Menutup Ketidakpastian dengan Ketidakpastian: Meninjau Persoalan “Pemberdayaan Perempuan” dalam Kemitraan Miss Cimory
6 Haening Ratna Sumiar Terpaksa Bekerja di Usia Senja: Studi Kerentanan Pengemudi Online Lanjut Usia
7 Hizkia Yosias Polimpung Akar Intelektual dari (Kemunduran) Politik Kelas Pekerja: Kritik Kajian-Kajian Kritis Seputar Ekonomi Gig di Indonesia
8 Muhammad Sidratul Muntaha Idham Diperdaya Algoritma Mesin Pencari: Kerentanan Mitra Bisnis Ekonomi  Berbagi pada Media Daring di Indonesia
9 Nabiyla Rifka Izzati Melihat Tukang Pijat Bekerja: Bagaimana Mantan Mitra GoMassage Bertahan Tanpa Platform
10 Paschalis Adventra Menilik Tetes Keringat Pedagang Cilok dan Bakwan Kawi Keliling: Mitra Atau Buruh Terselubung
11 Raymond J. Kusnadi Serikat Pekerja vs. Perusahaan Platform: Catatan tentang Perjuangan SPAI & Persoalan dalam Mendorong Keadilan bagi Pengemudi Ojol
12 Surya Eulogia Nolinia Zega Ilusi Feminisasi Kerja: Kerawanan Kerja Yakult Lady Akibat Sistem Kerja Gig dan Ketiadaan Perlindungan di Ranah Reproduksi Sosial

*urutan draft naskah terpilih berdasarkan abjad nama penulis

Selamat untuk draft naskah yang terpilih. Untuk draft naskah yang belum terpilih, jangan berkecil hati, semoga naskah tersebut nantinya dapat menemukan rumah lain untuk terbit. Terima kasih telah berkenan mengirimkan ide dan gagasannya ke kami.

Untuk draft naskah terpilih, selanjutnya akan kami hubungi melalui email.

Dalam berjalannya transportasi berbasis platform di Indonesia, penentuan tarif dibagi dalam tiga layanan, yaitu layanan antar penumpang, barang, dan makanan. Dalam layanan antar penumpang, tarif ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) PM No. 12 Tahun 2019. Kemudian aturan tersebut diturunkan dalam Keputusan Menteri perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019 yang membagi penentuan tarif layanan antar penumpang menjadi tiga zona, dengan tarif dasar dan tarif batas atas-bawah yang berbeda. Sementara tarif layanan non-penumpang orang, yaitu barang dan makanan, diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 01 Tahun 2012, yang merupakan turunan dari UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos. Dalam aturan tersebut, penentuan tarif antar barang dan makanan diserahkan kepada mekanisme pasar. Artinya pemerintah tidak melakukan intervensi penentuan tarif, dengan pertimbangan bahwa kompetisi yang sempurna dan hukum permintaan-penawaran akan menciptakan besaran titik keseimbangan tarif yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak (Novianto, 2022).

Pada praktiknya, dua bentuk mekanisme penentuan tarif saat ini belum menciptakan pendapatan yang layak bagi pengemudi online. Mekanisme pertama, penentuan tarif dasar dan batas atas-bawah oleh pemerintah pada layanan antar penumpang memiliki beberapa persoalan: 1) tarif hanya ditetapkan berdasarkan jarak per km, tidak menetapkan biaya tunggu, biaya jika ada pembatalan pesanan, dan biaya kompensasi waktu tanpa orderan; 2) penetapan tarif per km telah dihitung berdasarkan komponen biaya jasa, akan tetapi tidak dibarengi jaminan jumlah orderan minimal untuk pengemudi online agar memastikan mereka memiliki pendapatan yang layak; 3) tarif per km yang ditetapkan masih cenderung murah, sehingga memaksa pengemudi bekerja lebih lama guna memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mekanisme kedua, penentuan tarif yang diserahkan kepada pasar dalam layanan antar barang dan makanan memiliki persoalan yang sama dengan mekanisme pertama, dan justru lebih buruk lagi. Ketiadaan tarif batas bawah, telah memicu kompetisi di antara perusahaan platform untuk menurunkan tarif bagi pengemudi, sehingga tarif menjadi lebih rendah dibanding layanan antar penumpang.

Untuk membaca Bulletin Insight, Vol. 3 (1) edisi Juli 2022 yang ditulis oleh Arif Novianto (Peneliti Muda di Institute of Governance and Public Affairs, MAP Fisipol UGM) silahkan dapat diunduh di sini: Download Bulletin Insight: Mengurai Persoalan Tarif Murah bagi Pengemudi Online di Indonesia

_________
Selamat membaca, jika bermanfaat dan berkenan silahkan dapat dibagikan ke kawan-kawan yang lain.
Untuk mengunduh dan membaca edisi Bulletin Insight terbitan IGPA yang lain, silahkan dapat diakses DI SINI.

Upaya pemerintah dalam mengatasi penyebaran Covid-19 yang menjadi pandemi global di Indonesia melalui pembatasan sosial telah menimbulkan tantangan baru pada dunia pendidikan, khususnya sekolah formal. Proses belajar mengajar yang selama ini dilakukan di dalam kelas dengan adanya interaksi antar-siswa maupun siswa dengan guru dialihkan menjadi proses belajar menggunakan piranti digital sebagai mediator pertemuan. Melalui Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 03/KB/2019 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Coronavirus Disease 19 (Covid-19), maka secara formal telah dikukuhkan bahwa pembelajaran wajib dilakukan secara jarak jauh. Sebanyak 25,49 juta siswa Sekolah Dasar (SD), 10,13 juta siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), 7,78 juta siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 4,9 juta siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada Maret 2020 telah beralih pada metode pembelajaran daring.

Perbedaan faktor sosial dan ekonomi masyarakat telah memberikan tantangan terhadap siswa, guru, dan orang tua. Policy brief ini akan menjawab dua pertanyaan yang yang meliputi

  1. Bagaimana kendala yang dihadapi oleh guru, siswa, dan orang tua siswa dalam menerapkan metode pembelajaran daring?
  2. Apa dampak dari keterbatasan tiap aktor dalam menerapkan pembelajaran daring pada masa pandemi COVID-19?

Untuk membaca policy brieft hasil penelitian dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP Fisipol UGM dan Forbil Institute tentang persoalan sekolah daring, silahkan dapat diunduh melalui: http://tinyurl.com/LearningLossEraCOVID-19

Judul: Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia
Editor: Yeremias T. Keban, Ari Hernawan, dan Arif Novianto
Penerbit: IGPA Press
Ukuran: 14 x 21 cm
Terbal : 224 halaman

Informasi buku:

Ekonomi gig, sebagai bentuk ekonomi yang menekankan pada upah berdasarkan jumlah barang/jasa yang diselesaikan, kini semakin banyak diperbincangkan. Di satu sisi, banyak yang menyanjung ekonomi gig sebagai ekonomi masa depan, karena telah mampu menyerap jutaan tenaga kerja, memberi mereka fleksibilitas, dan menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, ekonomi gig telah berkontribusi pada kerentanan kerja, karena ketiadaan perlindungan sosial dan kepastian pendapatan bagi para pekerjanya. Kerentanan tersebut memungkinkan untuk terjadi, karena mereka diklasifikasikan sebagai kontraktor independen dengan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja buruh-pengusaha. Dampaknya, pekerja gig menjadi belum menikmati perlindungan kerja berupa upah minimum, jam kerja 40 jam/minggu, hak berserikat, hak libur, dan jaminan sosial sebagaimana yang diterima pekerja dalam hubungan kerja buruh-pengusaha. Sementara itu, hubungan kemitraan berjalan dengan tidak adil, karena setiap keputusan dilakukan sepihak oleh perusahaan platform, sehingga merugikan pekerja gig.

Dalam buku ini, kami mengurai persoalan yang terjadi dalam ekonomi gig di Indonesia. Buku ini menyajikan analisis tentang belum tercapainya kondisi kerja layak dan adil bagi pekerja gig, baik yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, kurir, musisi, buruh jahit, dan pekerja kreatif. Persoalan tersebut dianalisis dari kacamata yang beragam, dari pendekatan ekonomi politik, regulasi, budaya kritis, hingga kekuasaan. Buku ini menjadi bacaan awal yang penting untuk memahami beragam persoalan di ekonomi gig dan bagaimana untuk mendorong terwujudnya kerja layak dan adil bagi pekerja gig.

Buku dapat didownload atau unduh di sini: Ebook_Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia_IGPA Press

 

*jika ada kendala untuk mengakses ebook buku, silahkan dm IG @igpa.mapfisipolugm atau email: igpa@ugm.ac.id

Institute Governance and Public Affairs (IGPA), Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan seminar bertajuk tata kelola hubungan kemitraan dalam ekonomi gig Indonesia. Acara ini merupakan rangkaian dari Dies Natalis Fisipol UGM ke-66. Webinar yang berlangsung secara daring melalui platform Zoom pada 30 September 2021 dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan sambutan Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi. Acara kemudian dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Paripurna. Dalam sambutanya, Paripurna menekankan persoalan perubahan kultur kerja yang telah bergeser dari kerja formal menjadi kerja informal berbasis ekonomi digital. Peran serta pemerintah sebagai pemangku kebijakan sangat diperlukan untuk mencegah distorsi yang semakin dalam karena perbedaan antara kepentingan akumulasi profit yang dominan dan kepentingan untuk kondisi kerja layak pada sisi lainnya. Oleh karena itu, mekanisme bisnis yang ideal seharusnya didorong atas asas berimbang dan demokrasi yang telah termanifestasikan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Diskusi yang dimoderatori oleh Ferry Anggara, presenter TVRI Yogyakarta ini dihadiri oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Ida Fauziah sebagai keynote speaker. Ida memaparkan adanya perbedaan tiga aspek mendasar yang mengimplikasikan hak serta kewajiban antara hubungan kerja dan kemitraan dari sudut pandang ideal. Aspek tersebut meliputi perlindungan, bentuk penghasilan, dan perselisihan. Dalam kondisi normatif, hubungan kemitraan seharusnya memenuhi unsur perlindungan dalam bentuk kesepakatan, bentuk penghasilan yang didasarkan keberimbangan, dan perselisihan yang diselesaikan dalam bentuk kesepakatan antar-pihak yang bermitra. Meski berbeda dengan bentuk hubungan kerja antara buruh-pengusaha yang mengedepankan asas hukum industrial dalam ketiga konteks tersebut, hubungan kemitraan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM telah mencerminkan kondisi ideal dalam bisnis yang berbasis kesetaraan, saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.

Namun, Ida menjelaskan dalam konteks empiris, hubungan kemitraan khususnya dalam ekonomi gig telah menyimpang dari prinsip dasar kemitraan. Itu terjadi karena melimpahnya pasokan pekerja akibat bonus demografi yang membuat daya tawar pekerja gig menjadi lemah dihadapan perusahaan platform. Mereka terpaksa sepakat dengan pengaturan hubungan kemitraan secara sepihak oleh perusahaan agar dapat terus bekerja. Terakhir, sebagai colosing statement, Ida menekankan pentingnya mensejajarkan posisi tawar mitra melalui peran pemerintah. Upaya tersebut dapat dimulai melalui kewajiban perlindungan kerja serta jaminan kesehatan untuk mendisiplinkan posisi ekonomi satu pihak yang terlampau dominan.

Paparan materi webinar kemudian dilanjutkan oleh para pembicara dari sektor publik, akademisi, serta perwakilan asosiasi mitra platform ride-hailing. Keempat pembicara merepresentasikan pandangan optimisme dan posisi antisipatif. Pertama, perspektif optimisme terhadap mekanisme pasar disampaikan oleh Semuel Abrijani Pangarepan sebagai Dirjen Aplikasi Teknomogi dan Informasi Kominfo RI. Semuel yang telah berkecimpung selama 20 tahun sebagai pemimpin industri telekomunikasi, alih-alih menyoroti terkait posisi timpang dalam kemitraan perusahaan platform, justru memandang bahwa melalui hubungan kemitraan yang fleksibel ini orang-orang akan memiliki effort kerja yang lebih karena didorong oleh mekanisme hukuman (punishment), misalnya melalui putus mitra.

Mekanisme persaingan pasar bebas bagi Semuel adalah jalan terbaik untuk mencapai equilibrium, sejauh pemain pasar tidak hanya satu. Semuel menyebut: “Kalau menurut saya sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia ini, perusahaan membuat kebijakan berdasarkan data dari algoritma, selama ini tidak monopoli maka biarkan saja free market, toh kalau saya tidak suka dengan mereka maka saya akan pindah ke yang lainnya….”. Ini kemudian mengimplikasikan bahwa peran pemerintah dirasa belum terlalu perlu karena bisnis berbasis kemitraan sedianya telah lama berjalan bahkan sebelum hadirnya platform-platform ride-hailing.

Kedua, posisi antisipatif yang berkontradiksi dari pandangan sebelumnya, justru menganggap bahwa algoritma menjadi model bisnis yang berpotensi melemahkan posisi tawar satu pihak apabila tidak diregulasi.  Afif Hasbullah, Komisioner KPPU RI dalam sudut pandang kelembagaan yang mengatur persaingan usaha, memaparkan bahwa pergeseran bisnis berbasis algoritma berpotensi untuk menciptakan kondisi one side market, di mana kondisi ini menjadikan posisi yang terlampau dominan dan berakhir pada kartel, sehingga perlu adanya regulasi antisipatif. Sejalan dengan hal tersebut, Wahyudi Kumorotomo (Guru Besar Fisipol UGM) menyoroti potensi oligopoli dalam model bisnis berbasis algoritma yang tidak diregulasi. Oligopoli ini misalnya telah terjadi dalam konteks GoTo (merger Gojek dan Tokopedia).

Pandangan yang memperkuat pentingnya antisipasi melalui intervensi pemerintah dalam konteks empiris diperkuat oleh paparan Taha Syafaril Anrousi, ketua umum Asosiasi Driver Online (ADO). Taha menyoroti beberapa poin relasi kuasa yang dominan dilakukan oleh platform dalam konteks kebijakan wajib menggunakan properti seragam yang harus dibeli sendiri oleh mitra pengemudi, suspend dan putus mitra sepihak, serta penentuan tarif sepihak yang tidak mempertimbangkan biaya operasional pengemudi mitra. Untuk memperjuangkan penerapan prinsip kemitraan yang adil selama ini ditempuh para mitra pengemudi melalui jalur protes atau aksi demonstrasi. Akan tetapi menurut Taha penting untuk pemerintah meregulasi hubungan kemitraan agar tercipta hubungan kemitraan yang sehat, sehingga meminimalisir konflik antara mitra dan pemilik platform.

Ari Hernawan guru besar hukum ketenagakerjaan UGM yang juga merupakan tim peneliti IGPA MAP Fisipol UGM dalam kajian “Di balik Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja Mitra Transportasi Online Indonesia” (2020), menekankan pentingnya peran negara dalam mengatur hubungan kerja antara mitra dan pemilik platform. Peran negara dapat diwujudkan dalam tiga alternatif kebijakan, yaitu: 1) bertahan dengan hubungan kemitraan, akan tetapi menetapkan peran pemerintah pada proses bisnis yang mengatur standar teknis operasional kerja, sementara dalam konteks kemitraan diatur dalam regulasi terpisah untuk menyeimbangkan posisi tawar mitra, salah satu contohnya adalah kebijakan upah minimum; 2) bergerak di ranah hubungan kerja, sepertihalnya hubungan kerja formal antara buruh dan pengusaha, sehingga dalam konteks hubungan industrial ditentukan oleh politicall will aktor tripatrit (pengusaha, pekerja, dan pemerintah) 3) berbagi peran kelembagaan, di mana ada pemisahan antara proses bisnis dan regulasi kemitraan yang didistribusikan pada Kementerian/ Lembaga sesuai dengan tupoksi.

Diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut berlangsung interaktif, beberapa audiens antusias dalam memberikan komentar serta pertanyaan terkait dengan paparan materi pembicara. Beberapa pertanyaan serta diskusi diantaranya berkaitan dengan alternatif jalur litigasi yang memungkinkan dibawa pada ranah pengadilan untuk memasukkan gugatan hubungan kemitraan yang tidak seimbang sebagai alternatif proses hukum selama menunggu kekosongan regulasi. Selain itu, diskursus juga muncul dari forum tanya-jawab mengenai konsep otomatisasi berbasis integrasi antar-stakeholder melalui piranti digital. Konsep ini menawarkan kemudahan dalam menganalisis kekosongan dan urgensi kebijakan termasuk dalam konteks ekonomi gig, serta mempermudah mekanisme koordinasi berbasis digital. Ferry Anggara selaku pemandu diskusi, menutup diskusi dengan menarik kesimpulan bahwa ekonomi digital yang sedianya menyediakan peluang yang besar terlebih bagi keterbukaan sektor lapangan kerja perlu diimbangi dengan regulasi yang menciptakan keadilan dalam konteks hubungan kerja

Model bisnis berbasis ekonomi gig memang telah membawa transformasi besar yang menghubungkan banyak orang pada kesempatan kerja di tengah bonus demografi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar dibanding dengan kesempatan kerja pada sektor formal, membuka peluang platform berbasis massa (mass-based platform) untuk menarik banyak orang bergabung dalam relasi kerja baru berbentuk “kemitraan”. Akan tetapi, dalam konteks empiris prinsip dasar kemitraan hanya dilakukan sebagian saja, yaitu distribusi alat produksi, namun tidak dengan distribusi pendapatan layak dan kesetaraan posisi hubungan kerja. Melalui keterlibatan pemerintah dalam bentuk produk hukum, maka akan ada intervensi yang mengikat kedua belah pihak mitra untuk melaksanakan hak kewajiban secara adil dan setara sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan. (ADW).

Hubungan kemitraan dalam model bisnis berbasis ekonomi gig pada perusahaan platform dipandang memberikan fleksibilitas atau kebebasan bagi para pekerjanya. Di samping kebebasan dalam menentukan waktu kerja, para pekerja gig dianggap bebas untuk menggunakan kesempatan bekerja pada platform sebagai pekerjaan sampingan. Penelitian IGPA MAP Fisipol UGM pada tahun 2020 menemukan bahwa hubungan kerja pada model bisnis platform di industri layanan antarpenumpang, antarmakanan, dan antarbarang tidak benar-benar memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi pekerja gig untuk menentukan waktu kerja. Selain itu, hubungan kemitraan antara pekerja gig dengan perusahaan platform seperi Gojek, Grab, dan Maxim berlangsung tidak setara, oleh karena semua keputusan dan kontrol kerja dimonopoli oleh perusahaan platform. Kondisi hubungan kemitraan tersebut jika dilihat dalam kaca mata hukum, bertentangan dengan prinsip-prinsip kemitraan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 yaitu hubungan yang setara dan saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Tidak dijalankannya prinsip-prinsip kemitraan dalam “hubungan kemitraan” telah membuat tercerabutnya hak-hak yang harusnya didapat oleh pekerja gig.

Persoalan tentang hubungan kemitraan dalam kerja yang dilakukan oleh ojek online atau kurir menjadi penting untuk didiskusikan secara bersama untuk mencari alternatif kebijakan yang tepat. Apalagi saat ini, sektor ekonomi gig telah menyerap lebih dari 4 juta pekerja di Indonesia, dan ke depan akan terus mengalami trend peningkatan. Sebagai ruang dialektika, Policy Forum yang diselenggarakan oleh IGPA MAP Fisipol UGM akan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendiskusikan tentang sengkarut hubungan kemitraan dan alternatif kebijakan dalam ekonomi gig di Indonesia.

Policy Forum dalam edisi kali ini akan diselenggarakan pada Kamis, 30 September 2021, pukul: 09:00 WIB. Pendaftaran: bit.ly/3nPxV18

Diskusi terbuka untuk Umum.

In its effort to implement democratization and modernizing the governance, Indonesian political leaders has issued regulations to promulgate decentralization and regional autonomy through the law number 22 of 1999, revised by the law number 32 of 2004, and the latest law number 23 of 2014. Both the leaders and the people believe that developing regional autonomy is a positive way for a better Indonesia. According to a survey by Lingkaran Survey Indonesia (LSI), 73% of respondents are supporting regional autonomy (Mietzner, 2013). In other survey in 2011, LSI found that 66% of respondents supporting regional direct election (Mietzner, 2013). Both of those regulations issued by the lawmakers and those surveys on people’s perspectives are showing that Indonesians have a consensus to moving towards a regional autonomy.

However, the implementations of decentralization are not without problems. For example, in the last decade, there are 223 newly established regions. Among those new regions, 80% are still dependent to the central government’s budget. For these regions, 90% of the budget is being used for civil servicemen’s salary (Tempo, 2016). As the result, public service and social security for the people is neglected. Up to now, there are about 15 overleaping regulations which are in some way hampered the implementation of the other regulations. This condition has created confusions, and in other way provides opportunities for local political elites to maneuver and exploit these overleaping regulations for their own economic benefits; controlling resources; and dominating local politics.

Considering the importance of regional autonomy and the problems occurred, this research aims to provide a better perspective in understanding the structure in formulating regional autonomy in Indonesia. Only by a clear understanding on the origins and influential factors of Indonesian decentralization, we could solve the problems. However, a thorough political study in Indonesian decentralization is still limited. At present times, there are many discussions on regional autonomy and no final conclusion on the how to effectively manage the implementation of it. Many Indonesian experts were trapped at understanding decentralization as a mere matter of governance, laws, and regulations. In Indonesia, scholars and students of government and political sciences point out that the weakness of political parties contributes to create difficulties in practicing the implementation. This research is positioning itself to provide a political perspective and pin-pointing at the hearth of the process of the creation of decentralization and regional autonomy concept in Indonesia which is actually the product of the dynamics of political parties.

To read more about this Insight Bulletin, it can be downloaded here: download

Pandemi COVID-19 telah berdampak tidak hanya ke persoalan kesehatan, tetapi juga ekonomi. ILO menyebut bahwa secara global ada 255 juta orang dirumahkan akibat pandemi pada tahun 2020. Sementara itu, kebijakan jaga jarak fisik sebagai cara menekan penyebaran infeksi SARS-CoV2 telah memicu penurunan pendapatan bagi pekerja informal, salah satunya adalah pekerja gig di sektor layanan antarpenumpang, antarbarang, dan antarmakanan.

Selama masa pandemi, pekerja gig yang bermitra dengan Gojek, Grab, Maxim, InDriver, dan juga yang lain, ditempatkan sebagai pekerja esensial atau penting, oleh karena peran mereka dalam mengantarkan makanan atau barang ketika masa pembatasan sosial seperti PSBB dan PPKM dijalankan. Akan tetapi, peran penting dari Ojol atau kurir tersebut tidak dibarengi dengan pendapatan yang layak dan perlindungan kerja yang setimpal.

Untuk mendiskusikan tentang persoalan yang dialami pekerja gig di tengah pandemi COVID-19, Insitute of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Policy Forum pada 10 Agustus 2021. Policy Forum merupakan agenda rutin dari IGPA MAP Fisipol UGM untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders) guna mendiskusikan suatu masalah publik. Dalam Policy Forum tentang pekerja gig ini, menghadirkan Ahmad Yani (Direktur Angkutan Jalan, Kemenhub), Ari Hernawan (Peneliti Tamu di IGPA MAP Fisipol UGM & Guru Besar Hukum Perburuhan UGM), Media Askar (Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM), dan KeJO_Online (Perwakilan dari Ojol yang bermitra dengan Gojek dan Grab). Sementara itu, perwakilan dari perusahaan platform tidak berkenan hadir dalam Policy Forum tersebut.

Ahmad Yani menyebut bahwa pandemi COVID-19 memang telah menurunkan pendapatan pekerja gig, tapi di sisi lain, meningkatkan layanan antarmakanan dan antarbarang dari perusahaan platform. Itu terjadi karena ada kebutuhan dari warga selama pandemi untuk menggunakan layanan antarbarang dan antarmakanan, guna menjalankan jaga jarak fisik.

Menurut Ahmad Yani, untuk mengatur tata kelola ekonomi gig di Indonesia diperlukan dua bentuk pengaturan, yaitu berupa payung hukum berupa regulasi dan terkait proses bisnis. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 untuk memberi payung hukum penggunaan sepeda motor dalam melayani masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Akan tetapi, pengaturan terkait proses bisnis dari perusahaan seperti Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain sampai saat ini masih belum ada.

Untuk dapat menata ekonomi gig agar berjalan dengan baik, maka diperlukan koordinasi antarkementerian, tidak Kementerian Perhubungan saja” ungkap Yani. Ia menekankan bahwa dalam tata kelola ekonomi gig, ada kewenangan dari Kementerian Informasi dan TIK, Kementerian Ketenagakerjaan, KPPU, hingga Kementerian Koperasi, sehingga diperlukan koordinasi lintas-kementerian guna mengelola dan mengatur ekonomi gig secara baik.

Ari Hernawan, sebagai pemantik kedua, memaparkan tentang temuan penelitian yang dilakukan bersama tim peneliti di IGPA MAP Fisipol UGM. Dalam penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pekerja gig itu menunjukkan adanya penurunan pendapatan hingga 67% dari pekerja gig atau ojek online (Ojol) yang bermitra dengan Gojek, Grab, dan Maxim. “Yang menarik, trend penurunan pendapatan itu tidak hanya terjadi akibat pandemi COVID-19, tapi juga karena apa yang kami sebut sebagai diakhirinya periode bulan madu atau bakar-bakar uang dari perusahaan platform” sebut Ari Hernawan. Akhir dari periode bulan madu itu dapat terlihat dari mulai diturunkannya insentif/bonus, ditingkatnya potongan untuk Ojol yang saat ini sekitar 20%, dikuranginya promosi, direkrutnya banyak mitra driver, dan juga yang lain, yang berakibat pada penurunan pendapatan Ojol.

Terkait persoalan regulasi, Guru Besar Hukum Perburuhan UGM itu menyebut belum ada payung hukum yang kuat guna memastikan ekonomi gig di Indonesia berjalan dengan adil dan belum ada penegakan hukum secara menyeluruh. Dalam hal hubungan kemitraan, telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang prinsip-prinsip kemitraan, namun berjalannya kemitraan antara Ojol dengan perusahaan platform tidak berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena pihak perusahaan platform memonopoli proses pengambilan keputusan dan kepengaturan kerja secara sepihak, tanpa melibatkan mitra mereka, yaitu Ojol. Begitupula terkait pelaksanaan Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang penentuan tarif dasar, yang di banyak kasus masih dilanggar oleh perusahaan platform tapi tidak ada penegakan hukum secara tegas.

Hal senada juga disampaikan oleh pemantik ke tiga, Media Askar, yang menyebut bahwa kerentanan kerja terjadi karena penentuan tarif yang rendah, terutama bagi pekerja gig dengan low-skill. Dalam konteks pandemi COVID-19, “justru pekerja gig dengan high-skill seperti programmer atau data analyst yang saat ini banyak dibutuhkan dan pendapatan mereka cenderung tinggi” sebut Media. Walaupun begitu, ekonomi gig dengan kualifikasi pekerja low-skill tetap menyerap banyak tenaga kerja saat pandemi, akan tetapi persoalan yang dihadapi adalah upah/tarif yang rendah, beban kerja yang tinggi, hingga kontrak kerja yang fleksibel yang cenderung mengarah ke kerja tanpa perlindungan.

Dari sisi pengalaman pekerja gig, KeJO_Online menyebut kondisi kerja yang rentan memang terjadi, akan tetapi ada sistem yang didesain oleh perusahaan platform uantuk membuat para Ojol berkompetisi satu sama lain agar akunnya menjadi “gacor” atau “gampang cari orderan”. “Jika akunnya gacor, jadinya pendapatannya menjadi lumayan, karena tiap hari dapat banyak orderan” sebut KeJO. Namun, tidak semua Ojol akunnya gacor, banyak juga yang akunnya “gagu” atau “anyep” karena jarang dapat orderan, sehingga membuat pendapatan hariannya seringkali kecil atau tidak mencukupi untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Di tengah berbagai persoalan dalam ekonomi gig, KeJO menilai yang saat ini dibutuhkan adalah pemberian jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja bagi Ojol. “Itu penting, karena pekerjaan di jalan ini risikonya tinggi, lengah dikit bisa ditabrak mobil, lengah sedetik aja bisa kecelakaan” ungkap KeJO.

Sementara bagi Ahmad Yani, di tengah pandemi Kemenhub telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi pekerja gig. Salah satunya adalah dengan menghimbau kepada perusahaan platform untuk memberi bantuan langsung ke Ojol/kurir dan menurunkan potongan sebesar 20% yang saat ini diterapkan di Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain.

Sedangkan menurut Ari Hernawan, berdasarkan hasil penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM, alternatif kebijakan yang dapat diterapkan guna melindungi Ojol dan kurir adalah menerapkan “jaminan pendapatan dasar” (Japeda) dan memperjelas status kerja dari pekerja gig.

Cara menghitung Japeda dalam konteks Ojol, sudah tersurat dalam Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang formula menghitung biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kebutuhan masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Japeda salah satunya sebagai koreksi dalam implementasi Permenhub tersebut yang saat ini digunakan untuk mengatur tarif dasar Ojol yaitu antara 1.800/km – 2.500/km, yang diperlukan bukan mengatur jarak per km saja, tetapi juga mengatur jaminan pendapatan dasar yang perlu dipenuhi oleh perusahaan platform per minggu/bulan ke Ojol berupa jumlah orderan minimal. “Dengan adanya jaminan pendapatan dasar yang wajib dipenuhi oleh perusahaan, maka ada keamanan dan perlindungan kerja bagi Ojol” sebut Ari Hernawan.

Bulletin Insight edisi Juli 2021, Volume 2 (1) kali ini menerbitkan edisi khusus berupa laporan penelitian dari Arif Novianto (Peneliti Muda di IGPA MAP Fisipol UGM) tentang kondisi kerja layak dan adil di GoKilat, sebuah layanan pengiriman barang sehari sampai dari GoTo. Berikut adalah ringkasan dalam penelitian dari Arif Novianto ini:

  • Kondisi kerja dari driver GoKilat belum berjalan sesuai dengan pekerjaan yang layak dan adil. Hal itu terlihat dari rata-rata jam kerja adalah 11,2 jam/hari, 25,2 hari/bulan, 60% kurir tidak memiliki jaminan kesehatan, 97% kurir tidak memiliki asuransi kendaraan, hubungan kemitraan yang dikuasai sepihak oleh perusahaan platform, tidak adanya jaminan pendapatan dasar, dan lain sebagainya.
  • Pendapatan dari kurir GoKilat pada Mei 2021 belum mencapai pendapatan yang layak. Dengan membandingkan dengan UMP DKI Jakarta tahun 2021, pendapatan bersih kurir GoKilat (pendapatan kotor dikurangi biaya sarana produksi dan jaminan sosial) hanya 1.661.514 rupiah per bulan (diukur berdasarkan kerja 40 jam/minggu), sedangkan UMP DKI Jakarta pada tahun 2021 sebesar 4.416.186 rupiah per bulan.
  • Dari aspek “kerja layak dan adil” terhadap pekerja gig di GoKilat, GoTo hanya mendapatkan poin 4 dari poin maksimal 15. Sehingga GoTo mendapat rapor merah “kerja layak dan adil” dalam hubungan kemitraan yang mereka jalankan di GoKilat. Bukannya berupaya memenuhi kerja layak dan adil bagi kurir GoKilat, kebijakan penurunan insentif yang ditetapkan oleh GoTo pada 08 Juni 2021 justru menjauhkan pekerja gig dari kerja layak dan adil.

Untuk membaca Bulletin Insight, Vol. 2 (1) silahkan dapat diunduh di sini: Download Bulletin Insight: GoTo Menjauhkan Pekerja Gig dari Kerja Layak dan Adil: Survei Kondisi Kerja Kurir GoKilat

Jika bermanfaat, silahkan bagikan kepada kawan yang lain.