Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat aman untuk menuntut ilmu pengetahuan, pada kenyataannya menjadi tempat yang sering terjadi kekerasan seksual. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) pada 2020, menunjukkan 77% dosen mengakui bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya, namun 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahui kepada pihak perguruan tinggi (Kemendikbud, 2021). Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang tubuh, dan fungsi reproduksi seseorang.

Bulletin Insight Edisi 5(2) Maret 2024 yang diterbitkan oleh Institute of Governance and Public Affair (IGPA), UGM mengulas tentang kebijakan penanganan kekerasan seksual di kampus.

Insight-Maret-2024

 

Bulletin Insight pada edisi 4(2) 2023 mengulas tentang kondisi pekerja informal di DI Yogyakarta. Dalam edisi ini, ada dua artikel hasil penelitian yang ditulis oleh mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik (MIAP) Universitas Gadjah Mada, yaitu:

  1. Dinamika Kelas Sosial Perkotaan: Produksi dan Reproduksi Petty Commodity Producers Bubur Kacang Ijo (Burjo) di Yogyakarta,
    Dian Silviani, Dina Melisa Hardiyanti, & Christinne Greyssye Fatubun
  2. Realitas Kondisi Buruh Gendong dalam Perspektif Ekonomi Politik,
    Lina Putri Prabawati, Sepriza Elysa, & Siti Nurhidayah

Untuk membaca Bulletin Insight edisi 4(2), dapat diunduh di sini: INSIGHT 4(2) – Kondisi Pekerja Informal di Jogja_Studi Kasus Buruh Gendong dan Penjual Burjo

Tata kelola pemerintahan cerdas, sebuah paradigma pemerintahan baru yang muncul dari persoalan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan, akibat pesatnya urbanisasi, globalisasi, dan inovasi teknologi. Bulletin Insight edisi Vol 4(1) Juli 2023 mengangkat tata kelola pintar yang berkembang dalam koridor kota pintar dewasa ini melalui desk study smart governance dikaji Kurnia Cahyaningrum Effendi dan Melda Fadiyah Hidayat yang merupakan alumni S2 MAP UGM maupun Dewi Sekar Kencono, mahasiswa S3 IAP UGM.

Para penulis menawarkan analisis melalui Amsterdam Smart City (ASC)—yang tidak terpisahkan dari smart governance baik di Kota Amsterdam maupun perkembangan tata kelola pintar di beberapa kota di Indonesia untuk meningkatkan pemahaman kita tentang berbagai konseptualisasi yang berkaitan dengan tata kelola pintar dengan konteks sosial politik kota-kota tersebut merupakan hal yang menantang sebagai akibat dari sifat tata kelola kota pintar yang rumit dan membingungkan. Lebih detail lagi terkait pembelajaran inisiatif kota pintar kajian praktik tata kelola pintar di Kota Amsterdam dan beberapa Kota di Indonesia, Bulletin Insight Vol 4(1), silahkan dapat diunduh di sini: Download Insight edisi Juli 2023

Dalam berjalannya transportasi berbasis platform di Indonesia, penentuan tarif dibagi dalam tiga layanan, yaitu layanan antar penumpang, barang, dan makanan. Dalam layanan antar penumpang, tarif ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) PM No. 12 Tahun 2019. Kemudian aturan tersebut diturunkan dalam Keputusan Menteri perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019 yang membagi penentuan tarif layanan antar penumpang menjadi tiga zona, dengan tarif dasar dan tarif batas atas-bawah yang berbeda. Sementara tarif layanan non-penumpang orang, yaitu barang dan makanan, diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 01 Tahun 2012, yang merupakan turunan dari UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos. Dalam aturan tersebut, penentuan tarif antar barang dan makanan diserahkan kepada mekanisme pasar. Artinya pemerintah tidak melakukan intervensi penentuan tarif, dengan pertimbangan bahwa kompetisi yang sempurna dan hukum permintaan-penawaran akan menciptakan besaran titik keseimbangan tarif yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak (Novianto, 2022).

Pada praktiknya, dua bentuk mekanisme penentuan tarif saat ini belum menciptakan pendapatan yang layak bagi pengemudi online. Mekanisme pertama, penentuan tarif dasar dan batas atas-bawah oleh pemerintah pada layanan antar penumpang memiliki beberapa persoalan: 1) tarif hanya ditetapkan berdasarkan jarak per km, tidak menetapkan biaya tunggu, biaya jika ada pembatalan pesanan, dan biaya kompensasi waktu tanpa orderan; 2) penetapan tarif per km telah dihitung berdasarkan komponen biaya jasa, akan tetapi tidak dibarengi jaminan jumlah orderan minimal untuk pengemudi online agar memastikan mereka memiliki pendapatan yang layak; 3) tarif per km yang ditetapkan masih cenderung murah, sehingga memaksa pengemudi bekerja lebih lama guna memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mekanisme kedua, penentuan tarif yang diserahkan kepada pasar dalam layanan antar barang dan makanan memiliki persoalan yang sama dengan mekanisme pertama, dan justru lebih buruk lagi. Ketiadaan tarif batas bawah, telah memicu kompetisi di antara perusahaan platform untuk menurunkan tarif bagi pengemudi, sehingga tarif menjadi lebih rendah dibanding layanan antar penumpang.

Untuk membaca Bulletin Insight, Vol. 3 (1) edisi Juli 2022 yang ditulis oleh Arif Novianto (Peneliti Muda di Institute of Governance and Public Affairs, MAP Fisipol UGM) silahkan dapat diunduh di sini: Download Bulletin Insight: Mengurai Persoalan Tarif Murah bagi Pengemudi Online di Indonesia

_________
Selamat membaca, jika bermanfaat dan berkenan silahkan dapat dibagikan ke kawan-kawan yang lain.
Untuk mengunduh dan membaca edisi Bulletin Insight terbitan IGPA yang lain, silahkan dapat diakses DI SINI.

In its effort to implement democratization and modernizing the governance, Indonesian political leaders has issued regulations to promulgate decentralization and regional autonomy through the law number 22 of 1999, revised by the law number 32 of 2004, and the latest law number 23 of 2014. Both the leaders and the people believe that developing regional autonomy is a positive way for a better Indonesia. According to a survey by Lingkaran Survey Indonesia (LSI), 73% of respondents are supporting regional autonomy (Mietzner, 2013). In other survey in 2011, LSI found that 66% of respondents supporting regional direct election (Mietzner, 2013). Both of those regulations issued by the lawmakers and those surveys on people’s perspectives are showing that Indonesians have a consensus to moving towards a regional autonomy.

However, the implementations of decentralization are not without problems. For example, in the last decade, there are 223 newly established regions. Among those new regions, 80% are still dependent to the central government’s budget. For these regions, 90% of the budget is being used for civil servicemen’s salary (Tempo, 2016). As the result, public service and social security for the people is neglected. Up to now, there are about 15 overleaping regulations which are in some way hampered the implementation of the other regulations. This condition has created confusions, and in other way provides opportunities for local political elites to maneuver and exploit these overleaping regulations for their own economic benefits; controlling resources; and dominating local politics.

Considering the importance of regional autonomy and the problems occurred, this research aims to provide a better perspective in understanding the structure in formulating regional autonomy in Indonesia. Only by a clear understanding on the origins and influential factors of Indonesian decentralization, we could solve the problems. However, a thorough political study in Indonesian decentralization is still limited. At present times, there are many discussions on regional autonomy and no final conclusion on the how to effectively manage the implementation of it. Many Indonesian experts were trapped at understanding decentralization as a mere matter of governance, laws, and regulations. In Indonesia, scholars and students of government and political sciences point out that the weakness of political parties contributes to create difficulties in practicing the implementation. This research is positioning itself to provide a political perspective and pin-pointing at the hearth of the process of the creation of decentralization and regional autonomy concept in Indonesia which is actually the product of the dynamics of political parties.

To read more about this Insight Bulletin, it can be downloaded here: download

Bulletin Insight edisi Juli 2021, Volume 2 (1) kali ini menerbitkan edisi khusus berupa laporan penelitian dari Arif Novianto (Peneliti Muda di IGPA MAP Fisipol UGM) tentang kondisi kerja layak dan adil di GoKilat, sebuah layanan pengiriman barang sehari sampai dari GoTo. Berikut adalah ringkasan dalam penelitian dari Arif Novianto ini:

  • Kondisi kerja dari driver GoKilat belum berjalan sesuai dengan pekerjaan yang layak dan adil. Hal itu terlihat dari rata-rata jam kerja adalah 11,2 jam/hari, 25,2 hari/bulan, 60% kurir tidak memiliki jaminan kesehatan, 97% kurir tidak memiliki asuransi kendaraan, hubungan kemitraan yang dikuasai sepihak oleh perusahaan platform, tidak adanya jaminan pendapatan dasar, dan lain sebagainya.
  • Pendapatan dari kurir GoKilat pada Mei 2021 belum mencapai pendapatan yang layak. Dengan membandingkan dengan UMP DKI Jakarta tahun 2021, pendapatan bersih kurir GoKilat (pendapatan kotor dikurangi biaya sarana produksi dan jaminan sosial) hanya 1.661.514 rupiah per bulan (diukur berdasarkan kerja 40 jam/minggu), sedangkan UMP DKI Jakarta pada tahun 2021 sebesar 4.416.186 rupiah per bulan.
  • Dari aspek “kerja layak dan adil” terhadap pekerja gig di GoKilat, GoTo hanya mendapatkan poin 4 dari poin maksimal 15. Sehingga GoTo mendapat rapor merah “kerja layak dan adil” dalam hubungan kemitraan yang mereka jalankan di GoKilat. Bukannya berupaya memenuhi kerja layak dan adil bagi kurir GoKilat, kebijakan penurunan insentif yang ditetapkan oleh GoTo pada 08 Juni 2021 justru menjauhkan pekerja gig dari kerja layak dan adil.

Untuk membaca Bulletin Insight, Vol. 2 (1) silahkan dapat diunduh di sini: Download Bulletin Insight: GoTo Menjauhkan Pekerja Gig dari Kerja Layak dan Adil: Survei Kondisi Kerja Kurir GoKilat

Jika bermanfaat, silahkan bagikan kepada kawan yang lain.

Capaian “keberhasilan” program dana desa yang dilaksanakan pemerintah pusat sejak tahun 2015-2019 perlu kita cermati kembali. Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) nasional menunjukkan bahwa jumlah angka kemiskinan dari tahun ke tahun menunjukkan trend penurunan. Namun, bila trend angka penurunan tersebut dicermati lebih mendalam, dibalik angka penurunan tersebut ternyata disertai dengan trend tingkat semakin parahnya kemiskinan yang juga merangkak naik tiap tahunnya. Artinya, bahwa ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat antara kelas sosial “bawah dan atas” semakin parah terjadi.

Bulletin Insight edisi 1 (8) yang diterbitkan oleh IGPA MAP UGM memperlihat tentang kontribusi kebijakan Dana Desa dan BUM Desa yang justru memicu semakin timpangnya desa. Penulis menggunakan dua desa percontohan nasional yang berhasil meraup hasil pendapatan mencapai milyaran rupiah tiap tahunnya sebagai studi kasus. Di balik realitas dua desa percontohan, penulis berhasil mengambarkan gradasi sosial yang timpang antara reproduksi sosial kaum elite desa, dengan kaum buruh di desa. Alih-alih para buruh serabutan diberdayakan dan disejahterakan melalui dana desa, tulisan ini menemukan sesuatu yang sebaliknya.

 

Untuk membaca Bulletin INSIGHT Edisi 1 (8), silahkan dapat diundah di sini: Bulletin INSIGHT Edisi 1 (8)

IGPA mempersembahkan bulletin berjudul Era Kebebalan: Penyebaran pengetahuan palsu dan kematian intelektualitas. Bulletin ini mendiskusikan tentang penyebaran informasi hoax yang berulang-ulang dan masif dapat menguburkan intelektualitas. Artikel ini menekankan pentingnya membangun budaya argumentatif untuk menanggulangi fenomena tersebut.

Link : https://map.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/290/2020/01/Bulletin-IGPA-Juli-Agustus-2019.pdf

 

IGPA mempersembahkan bulletin keempat berjudul ekonomi digital dan digital labour indonesia: jenis dan tantangannya. Bulletin ini mendiskusikan situasi ekonomi digital dan jenis pekerjaan yang muncul sebagai bagian dari perkembangan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, pada saat yang sama merupakan perubahan yang diakibatkan era digital terhadap ketenagakerjaan yang apabila negara tidak siap, penghidupan dan kesejahteraan warga negara menjadi taruhannya.

Link : https://map.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/290/2019/06/Bulletin-IGPA-Mei-20191.pdf

IGPA mempersembahkan bulletin ketiga dengan judul Bringing Political Identity Back: Hoax News in Indonesia. Bulletin ini mendiskusikan jenis dan karakteristik berita hoaks di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga mengidentifikasi upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memerangi berita hoaks.

Link : https://map.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/290/2019/05/Bulletin-IGPA-April-2019.pdf