In its effort to implement democratization and modernizing the governance, Indonesian political leaders has issued regulations to promulgate decentralization and regional autonomy through the law number 22 of 1999, revised by the law number 32 of 2004, and the latest law number 23 of 2014. Both the leaders and the people believe that developing regional autonomy is a positive way for a better Indonesia. According to a survey by Lingkaran Survey Indonesia (LSI), 73% of respondents are supporting regional autonomy (Mietzner, 2013). In other survey in 2011, LSI found that 66% of respondents supporting regional direct election (Mietzner, 2013). Both of those regulations issued by the lawmakers and those surveys on people’s perspectives are showing that Indonesians have a consensus to moving towards a regional autonomy.

However, the implementations of decentralization are not without problems. For example, in the last decade, there are 223 newly established regions. Among those new regions, 80% are still dependent to the central government’s budget. For these regions, 90% of the budget is being used for civil servicemen’s salary (Tempo, 2016). As the result, public service and social security for the people is neglected. Up to now, there are about 15 overleaping regulations which are in some way hampered the implementation of the other regulations. This condition has created confusions, and in other way provides opportunities for local political elites to maneuver and exploit these overleaping regulations for their own economic benefits; controlling resources; and dominating local politics.

Considering the importance of regional autonomy and the problems occurred, this research aims to provide a better perspective in understanding the structure in formulating regional autonomy in Indonesia. Only by a clear understanding on the origins and influential factors of Indonesian decentralization, we could solve the problems. However, a thorough political study in Indonesian decentralization is still limited. At present times, there are many discussions on regional autonomy and no final conclusion on the how to effectively manage the implementation of it. Many Indonesian experts were trapped at understanding decentralization as a mere matter of governance, laws, and regulations. In Indonesia, scholars and students of government and political sciences point out that the weakness of political parties contributes to create difficulties in practicing the implementation. This research is positioning itself to provide a political perspective and pin-pointing at the hearth of the process of the creation of decentralization and regional autonomy concept in Indonesia which is actually the product of the dynamics of political parties.

To read more about this Insight Bulletin, it can be downloaded here: download

Pandemi COVID-19 telah berdampak tidak hanya ke persoalan kesehatan, tetapi juga ekonomi. ILO menyebut bahwa secara global ada 255 juta orang dirumahkan akibat pandemi pada tahun 2020. Sementara itu, kebijakan jaga jarak fisik sebagai cara menekan penyebaran infeksi SARS-CoV2 telah memicu penurunan pendapatan bagi pekerja informal, salah satunya adalah pekerja gig di sektor layanan antarpenumpang, antarbarang, dan antarmakanan.

Selama masa pandemi, pekerja gig yang bermitra dengan Gojek, Grab, Maxim, InDriver, dan juga yang lain, ditempatkan sebagai pekerja esensial atau penting, oleh karena peran mereka dalam mengantarkan makanan atau barang ketika masa pembatasan sosial seperti PSBB dan PPKM dijalankan. Akan tetapi, peran penting dari Ojol atau kurir tersebut tidak dibarengi dengan pendapatan yang layak dan perlindungan kerja yang setimpal.

Untuk mendiskusikan tentang persoalan yang dialami pekerja gig di tengah pandemi COVID-19, Insitute of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Policy Forum pada 10 Agustus 2021. Policy Forum merupakan agenda rutin dari IGPA MAP Fisipol UGM untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders) guna mendiskusikan suatu masalah publik. Dalam Policy Forum tentang pekerja gig ini, menghadirkan Ahmad Yani (Direktur Angkutan Jalan, Kemenhub), Ari Hernawan (Peneliti Tamu di IGPA MAP Fisipol UGM & Guru Besar Hukum Perburuhan UGM), Media Askar (Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM), dan KeJO_Online (Perwakilan dari Ojol yang bermitra dengan Gojek dan Grab). Sementara itu, perwakilan dari perusahaan platform tidak berkenan hadir dalam Policy Forum tersebut.

Ahmad Yani menyebut bahwa pandemi COVID-19 memang telah menurunkan pendapatan pekerja gig, tapi di sisi lain, meningkatkan layanan antarmakanan dan antarbarang dari perusahaan platform. Itu terjadi karena ada kebutuhan dari warga selama pandemi untuk menggunakan layanan antarbarang dan antarmakanan, guna menjalankan jaga jarak fisik.

Menurut Ahmad Yani, untuk mengatur tata kelola ekonomi gig di Indonesia diperlukan dua bentuk pengaturan, yaitu berupa payung hukum berupa regulasi dan terkait proses bisnis. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 untuk memberi payung hukum penggunaan sepeda motor dalam melayani masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Akan tetapi, pengaturan terkait proses bisnis dari perusahaan seperti Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain sampai saat ini masih belum ada.

Untuk dapat menata ekonomi gig agar berjalan dengan baik, maka diperlukan koordinasi antarkementerian, tidak Kementerian Perhubungan saja” ungkap Yani. Ia menekankan bahwa dalam tata kelola ekonomi gig, ada kewenangan dari Kementerian Informasi dan TIK, Kementerian Ketenagakerjaan, KPPU, hingga Kementerian Koperasi, sehingga diperlukan koordinasi lintas-kementerian guna mengelola dan mengatur ekonomi gig secara baik.

Ari Hernawan, sebagai pemantik kedua, memaparkan tentang temuan penelitian yang dilakukan bersama tim peneliti di IGPA MAP Fisipol UGM. Dalam penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pekerja gig itu menunjukkan adanya penurunan pendapatan hingga 67% dari pekerja gig atau ojek online (Ojol) yang bermitra dengan Gojek, Grab, dan Maxim. “Yang menarik, trend penurunan pendapatan itu tidak hanya terjadi akibat pandemi COVID-19, tapi juga karena apa yang kami sebut sebagai diakhirinya periode bulan madu atau bakar-bakar uang dari perusahaan platform” sebut Ari Hernawan. Akhir dari periode bulan madu itu dapat terlihat dari mulai diturunkannya insentif/bonus, ditingkatnya potongan untuk Ojol yang saat ini sekitar 20%, dikuranginya promosi, direkrutnya banyak mitra driver, dan juga yang lain, yang berakibat pada penurunan pendapatan Ojol.

Terkait persoalan regulasi, Guru Besar Hukum Perburuhan UGM itu menyebut belum ada payung hukum yang kuat guna memastikan ekonomi gig di Indonesia berjalan dengan adil dan belum ada penegakan hukum secara menyeluruh. Dalam hal hubungan kemitraan, telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang prinsip-prinsip kemitraan, namun berjalannya kemitraan antara Ojol dengan perusahaan platform tidak berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena pihak perusahaan platform memonopoli proses pengambilan keputusan dan kepengaturan kerja secara sepihak, tanpa melibatkan mitra mereka, yaitu Ojol. Begitupula terkait pelaksanaan Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang penentuan tarif dasar, yang di banyak kasus masih dilanggar oleh perusahaan platform tapi tidak ada penegakan hukum secara tegas.

Hal senada juga disampaikan oleh pemantik ke tiga, Media Askar, yang menyebut bahwa kerentanan kerja terjadi karena penentuan tarif yang rendah, terutama bagi pekerja gig dengan low-skill. Dalam konteks pandemi COVID-19, “justru pekerja gig dengan high-skill seperti programmer atau data analyst yang saat ini banyak dibutuhkan dan pendapatan mereka cenderung tinggi” sebut Media. Walaupun begitu, ekonomi gig dengan kualifikasi pekerja low-skill tetap menyerap banyak tenaga kerja saat pandemi, akan tetapi persoalan yang dihadapi adalah upah/tarif yang rendah, beban kerja yang tinggi, hingga kontrak kerja yang fleksibel yang cenderung mengarah ke kerja tanpa perlindungan.

Dari sisi pengalaman pekerja gig, KeJO_Online menyebut kondisi kerja yang rentan memang terjadi, akan tetapi ada sistem yang didesain oleh perusahaan platform uantuk membuat para Ojol berkompetisi satu sama lain agar akunnya menjadi “gacor” atau “gampang cari orderan”. “Jika akunnya gacor, jadinya pendapatannya menjadi lumayan, karena tiap hari dapat banyak orderan” sebut KeJO. Namun, tidak semua Ojol akunnya gacor, banyak juga yang akunnya “gagu” atau “anyep” karena jarang dapat orderan, sehingga membuat pendapatan hariannya seringkali kecil atau tidak mencukupi untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Di tengah berbagai persoalan dalam ekonomi gig, KeJO menilai yang saat ini dibutuhkan adalah pemberian jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja bagi Ojol. “Itu penting, karena pekerjaan di jalan ini risikonya tinggi, lengah dikit bisa ditabrak mobil, lengah sedetik aja bisa kecelakaan” ungkap KeJO.

Sementara bagi Ahmad Yani, di tengah pandemi Kemenhub telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi pekerja gig. Salah satunya adalah dengan menghimbau kepada perusahaan platform untuk memberi bantuan langsung ke Ojol/kurir dan menurunkan potongan sebesar 20% yang saat ini diterapkan di Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain.

Sedangkan menurut Ari Hernawan, berdasarkan hasil penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM, alternatif kebijakan yang dapat diterapkan guna melindungi Ojol dan kurir adalah menerapkan “jaminan pendapatan dasar” (Japeda) dan memperjelas status kerja dari pekerja gig.

Cara menghitung Japeda dalam konteks Ojol, sudah tersurat dalam Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang formula menghitung biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kebutuhan masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Japeda salah satunya sebagai koreksi dalam implementasi Permenhub tersebut yang saat ini digunakan untuk mengatur tarif dasar Ojol yaitu antara 1.800/km – 2.500/km, yang diperlukan bukan mengatur jarak per km saja, tetapi juga mengatur jaminan pendapatan dasar yang perlu dipenuhi oleh perusahaan platform per minggu/bulan ke Ojol berupa jumlah orderan minimal. “Dengan adanya jaminan pendapatan dasar yang wajib dipenuhi oleh perusahaan, maka ada keamanan dan perlindungan kerja bagi Ojol” sebut Ari Hernawan.