Akhir dari Pekerjaan Layak?: Dampak Informalisasi dan Kemitraan Semu terhadap Kondisi Pekerja berstatus Mitra di Indonesia

,

“Akhir dari Pekerjaan Layak?: Dampak Informalisasi dan Kemitraan Semu terhadap Kondisi Pekerja berstatus Mitra di Indonesia”

Tim: Yeremias T. Keban, Susetyawan, Arif Novianto, Fiky Yudhistira, dan Indri Islamiati

Status : Sudah terlaksana

Penelitian ini menemukan beberapa hal:

  1. Pekerja berstatus “mitra” tidak mendapatkan hak-haknya sebagai mitra. 

Para pekerja yang berstatus mitra, tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang diatur dalam regulasi dan dalam esensi hubungan kemitraan. Alih-alih memiliki posisi yang setara dengan perusahaan dalam setiap pengambilan keputusan, relasi antara perusahaan dengan pekerja berstatus mitra sangatlah timpang. Sebanyak 69,4 persen responden, bahkan tidak memiliki hak untuk mendiskusikan perjanjian kemitraan dan proses kerja. Akibat status sebagai mitra, maka para pekerja tidak mendapatkan hak-hak kerja layak, seperti upah minimum, jaminan sosial, hak libur tetap dibayar, cuti haid, waktu kerja 40 jam/minggu, dan yang lain. Status mitra justru membuat sebanyak 78,9% pekerja harus menyediakan sarana kerjanya sendiri.

  1. Informalisasi atau pengklasifikasian pekerja sebagai “mitra” telah menjauhkan pekerja dari kondisi kerja yang layak dan adil, sehingga telah menyebabkan terjadinya super-eksploitasi. 

Proses informalisasi atau pengubahan klasifikasi pekerja formal menjadi informal, berlangsung meluas sejak era booming ekonomi gig. Sejak tahun 2020/2021, sebagian besar kurir yang sebelumnya berstatus sebagai pekerja tetap/kontrak, diubah klasifikasinya sebagai mitra. Informalisasi tersebut telah menciptakan terjadinya praktik super-eksploitasi, yang terlihat dalam tiga hal. Pertama, terjadinya praktik intensifikasi kerja, baik melalui target kinerja yang ditingkatkan dan juga melalui gamifikasi yang membuat para pekerja bekerja semakin intensif; Kedua, ekstensifikasi kerja yang membuat pekerja berstatus mitra bekerja semakin lama. Pada Juni 2021, rata-rata waktu kerja pekerja berstatus mitra di sektor pengantaran barang dan penumpang adalah 10 jam 22 menit per hari dan meningkat menjadi 11 jam 12 menit per hari pada Juni 2023. Ketiga, bayaran yang diterima oleh pekerja berstatus mitra, cenderung semakin dibawah komponen hidup layak. Selain itu, akibat status sebagai mitra, maka risiko kerja semakin banyak yang ditanggung oleh pekerja.

  1. Tidak adanya penegakan hukum oleh pemerintah yang dipengaruhi kuatnya kekuatan modal dibanding kekuatan pekerja, telah membuat praktik kemitraan semu berlangsung

Berlangsungnya praktik kemitraan semu, yang mana pekerja berstatus mitra dilanggar hak-haknya oleh perusahaan, dimungkinkan untuk terjadi karena sedikitnya perlindungan dan penegakan hukum dari pemerintah. Kondisi itu terjadi, karena kekuatan modal/pemberi kerja lebih kuat dibandingkan kekuatan pekerja. Hal itu terlihat dari keterlibatan dalam organisasi (komunitas formal dan serikat pekerja), di mana 11,4 persen, sementara sebanyak 88,6 persen. Lemahnya gerakan atau kekuatan pekerja, telah membuat pemerintah menjadi cenderung untuk membiarkan praktik kemitraan semu berlangsung, dengan berbagai alasan tertentu.