Tag Archive for: ekonomi gig

Hubungan kemitraan dalam model bisnis berbasis ekonomi gig pada perusahaan platform dipandang memberikan fleksibilitas atau kebebasan bagi para pekerjanya. Di samping kebebasan dalam menentukan waktu kerja, para pekerja gig dianggap bebas untuk menggunakan kesempatan bekerja pada platform sebagai pekerjaan sampingan. Penelitian IGPA MAP Fisipol UGM pada tahun 2020 menemukan bahwa hubungan kerja pada model bisnis platform di industri layanan antarpenumpang, antarmakanan, dan antarbarang tidak benar-benar memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi pekerja gig untuk menentukan waktu kerja. Selain itu, hubungan kemitraan antara pekerja gig dengan perusahaan platform seperi Gojek, Grab, dan Maxim berlangsung tidak setara, oleh karena semua keputusan dan kontrol kerja dimonopoli oleh perusahaan platform. Kondisi hubungan kemitraan tersebut jika dilihat dalam kaca mata hukum, bertentangan dengan prinsip-prinsip kemitraan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 yaitu hubungan yang setara dan saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Tidak dijalankannya prinsip-prinsip kemitraan dalam “hubungan kemitraan” telah membuat tercerabutnya hak-hak yang harusnya didapat oleh pekerja gig.

Persoalan tentang hubungan kemitraan dalam kerja yang dilakukan oleh ojek online atau kurir menjadi penting untuk didiskusikan secara bersama untuk mencari alternatif kebijakan yang tepat. Apalagi saat ini, sektor ekonomi gig telah menyerap lebih dari 4 juta pekerja di Indonesia, dan ke depan akan terus mengalami trend peningkatan. Sebagai ruang dialektika, Policy Forum yang diselenggarakan oleh IGPA MAP Fisipol UGM akan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendiskusikan tentang sengkarut hubungan kemitraan dan alternatif kebijakan dalam ekonomi gig di Indonesia.

Policy Forum dalam edisi kali ini akan diselenggarakan pada Kamis, 30 September 2021, pukul: 09:00 WIB. Pendaftaran: bit.ly/3nPxV18

Diskusi terbuka untuk Umum.

Pandemi COVID-19 telah berdampak tidak hanya ke persoalan kesehatan, tetapi juga ekonomi. ILO menyebut bahwa secara global ada 255 juta orang dirumahkan akibat pandemi pada tahun 2020. Sementara itu, kebijakan jaga jarak fisik sebagai cara menekan penyebaran infeksi SARS-CoV2 telah memicu penurunan pendapatan bagi pekerja informal, salah satunya adalah pekerja gig di sektor layanan antarpenumpang, antarbarang, dan antarmakanan.

Selama masa pandemi, pekerja gig yang bermitra dengan Gojek, Grab, Maxim, InDriver, dan juga yang lain, ditempatkan sebagai pekerja esensial atau penting, oleh karena peran mereka dalam mengantarkan makanan atau barang ketika masa pembatasan sosial seperti PSBB dan PPKM dijalankan. Akan tetapi, peran penting dari Ojol atau kurir tersebut tidak dibarengi dengan pendapatan yang layak dan perlindungan kerja yang setimpal.

Untuk mendiskusikan tentang persoalan yang dialami pekerja gig di tengah pandemi COVID-19, Insitute of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Policy Forum pada 10 Agustus 2021. Policy Forum merupakan agenda rutin dari IGPA MAP Fisipol UGM untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders) guna mendiskusikan suatu masalah publik. Dalam Policy Forum tentang pekerja gig ini, menghadirkan Ahmad Yani (Direktur Angkutan Jalan, Kemenhub), Ari Hernawan (Peneliti Tamu di IGPA MAP Fisipol UGM & Guru Besar Hukum Perburuhan UGM), Media Askar (Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM), dan KeJO_Online (Perwakilan dari Ojol yang bermitra dengan Gojek dan Grab). Sementara itu, perwakilan dari perusahaan platform tidak berkenan hadir dalam Policy Forum tersebut.

Ahmad Yani menyebut bahwa pandemi COVID-19 memang telah menurunkan pendapatan pekerja gig, tapi di sisi lain, meningkatkan layanan antarmakanan dan antarbarang dari perusahaan platform. Itu terjadi karena ada kebutuhan dari warga selama pandemi untuk menggunakan layanan antarbarang dan antarmakanan, guna menjalankan jaga jarak fisik.

Menurut Ahmad Yani, untuk mengatur tata kelola ekonomi gig di Indonesia diperlukan dua bentuk pengaturan, yaitu berupa payung hukum berupa regulasi dan terkait proses bisnis. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 untuk memberi payung hukum penggunaan sepeda motor dalam melayani masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Akan tetapi, pengaturan terkait proses bisnis dari perusahaan seperti Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain sampai saat ini masih belum ada.

Untuk dapat menata ekonomi gig agar berjalan dengan baik, maka diperlukan koordinasi antarkementerian, tidak Kementerian Perhubungan saja” ungkap Yani. Ia menekankan bahwa dalam tata kelola ekonomi gig, ada kewenangan dari Kementerian Informasi dan TIK, Kementerian Ketenagakerjaan, KPPU, hingga Kementerian Koperasi, sehingga diperlukan koordinasi lintas-kementerian guna mengelola dan mengatur ekonomi gig secara baik.

Ari Hernawan, sebagai pemantik kedua, memaparkan tentang temuan penelitian yang dilakukan bersama tim peneliti di IGPA MAP Fisipol UGM. Dalam penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pekerja gig itu menunjukkan adanya penurunan pendapatan hingga 67% dari pekerja gig atau ojek online (Ojol) yang bermitra dengan Gojek, Grab, dan Maxim. “Yang menarik, trend penurunan pendapatan itu tidak hanya terjadi akibat pandemi COVID-19, tapi juga karena apa yang kami sebut sebagai diakhirinya periode bulan madu atau bakar-bakar uang dari perusahaan platform” sebut Ari Hernawan. Akhir dari periode bulan madu itu dapat terlihat dari mulai diturunkannya insentif/bonus, ditingkatnya potongan untuk Ojol yang saat ini sekitar 20%, dikuranginya promosi, direkrutnya banyak mitra driver, dan juga yang lain, yang berakibat pada penurunan pendapatan Ojol.

Terkait persoalan regulasi, Guru Besar Hukum Perburuhan UGM itu menyebut belum ada payung hukum yang kuat guna memastikan ekonomi gig di Indonesia berjalan dengan adil dan belum ada penegakan hukum secara menyeluruh. Dalam hal hubungan kemitraan, telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang prinsip-prinsip kemitraan, namun berjalannya kemitraan antara Ojol dengan perusahaan platform tidak berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena pihak perusahaan platform memonopoli proses pengambilan keputusan dan kepengaturan kerja secara sepihak, tanpa melibatkan mitra mereka, yaitu Ojol. Begitupula terkait pelaksanaan Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang penentuan tarif dasar, yang di banyak kasus masih dilanggar oleh perusahaan platform tapi tidak ada penegakan hukum secara tegas.

Hal senada juga disampaikan oleh pemantik ke tiga, Media Askar, yang menyebut bahwa kerentanan kerja terjadi karena penentuan tarif yang rendah, terutama bagi pekerja gig dengan low-skill. Dalam konteks pandemi COVID-19, “justru pekerja gig dengan high-skill seperti programmer atau data analyst yang saat ini banyak dibutuhkan dan pendapatan mereka cenderung tinggi” sebut Media. Walaupun begitu, ekonomi gig dengan kualifikasi pekerja low-skill tetap menyerap banyak tenaga kerja saat pandemi, akan tetapi persoalan yang dihadapi adalah upah/tarif yang rendah, beban kerja yang tinggi, hingga kontrak kerja yang fleksibel yang cenderung mengarah ke kerja tanpa perlindungan.

Dari sisi pengalaman pekerja gig, KeJO_Online menyebut kondisi kerja yang rentan memang terjadi, akan tetapi ada sistem yang didesain oleh perusahaan platform uantuk membuat para Ojol berkompetisi satu sama lain agar akunnya menjadi “gacor” atau “gampang cari orderan”. “Jika akunnya gacor, jadinya pendapatannya menjadi lumayan, karena tiap hari dapat banyak orderan” sebut KeJO. Namun, tidak semua Ojol akunnya gacor, banyak juga yang akunnya “gagu” atau “anyep” karena jarang dapat orderan, sehingga membuat pendapatan hariannya seringkali kecil atau tidak mencukupi untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Di tengah berbagai persoalan dalam ekonomi gig, KeJO menilai yang saat ini dibutuhkan adalah pemberian jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja bagi Ojol. “Itu penting, karena pekerjaan di jalan ini risikonya tinggi, lengah dikit bisa ditabrak mobil, lengah sedetik aja bisa kecelakaan” ungkap KeJO.

Sementara bagi Ahmad Yani, di tengah pandemi Kemenhub telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi pekerja gig. Salah satunya adalah dengan menghimbau kepada perusahaan platform untuk memberi bantuan langsung ke Ojol/kurir dan menurunkan potongan sebesar 20% yang saat ini diterapkan di Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain.

Sedangkan menurut Ari Hernawan, berdasarkan hasil penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM, alternatif kebijakan yang dapat diterapkan guna melindungi Ojol dan kurir adalah menerapkan “jaminan pendapatan dasar” (Japeda) dan memperjelas status kerja dari pekerja gig.

Cara menghitung Japeda dalam konteks Ojol, sudah tersurat dalam Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang formula menghitung biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kebutuhan masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Japeda salah satunya sebagai koreksi dalam implementasi Permenhub tersebut yang saat ini digunakan untuk mengatur tarif dasar Ojol yaitu antara 1.800/km – 2.500/km, yang diperlukan bukan mengatur jarak per km saja, tetapi juga mengatur jaminan pendapatan dasar yang perlu dipenuhi oleh perusahaan platform per minggu/bulan ke Ojol berupa jumlah orderan minimal. “Dengan adanya jaminan pendapatan dasar yang wajib dipenuhi oleh perusahaan, maka ada keamanan dan perlindungan kerja bagi Ojol” sebut Ari Hernawan.

Buku bunga rampai “Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia” yang akan diterbitkan oleh IGPA Press, lembaga penerbitan dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP Fisipol Universitas Gadjah Mada, telah sampai ke tahap berikutnya. Tim redaksi IGPA MAP Fisipol UGM telah memilih 10 abstrak dan draft tulisan dengan pertimbangan kesesuaian tema, keberagaman isu, dan analisis kritis dari total 40 abstrak dan draft tulisan yang diterima.

Dari total 40 draft naskah, kesemuanya begitu menarik, akan tetapi tidak mungkin kami menerima kesemuanya, sehingga kami memutuskan memilih 10 draft naskah sebagai berikut:

No Nama Judul Tulisan
1 Aulia D. Nastiti Dijamin Regulasi, Dikontrol Aplikasi: Keterbatasan Kebijakan Transportasi dalam Melindungi Kerja Pengemudi Gig
2 Dzaky Yusuf M., Rima Anhar R., & Naomy A. Nugraheni Mitos Kemitraan dan Konstruksi Normalitas ‘Kerja Gig’: Kajian Operasi Kekuasaan Hegemonik
3 Febrian Adinata Hasibuan

 

Musisi Sebagai Kelas Berbahaya? Politik Portofolio dalam Narasi Ekosistem Industri Musik
4 Fathimah Fildzah Izzati dan Rio Apinino Ekonomi Gig, Pandemi COVID-19, dan Pekerja Industri Kreatif di Indonesia
5 Izzan Fathurrahman Melestarikan Praktik Kerja Prekariat di balik Ekonomi Inovasi: Studi Kasus Praktik Kerja Perusahaan Teknologi kepada Mitra Pengemudi Ojek di Indonesia
6 Khoiril Maqin Burnout! Pekerja Muda di Antara Kreativitas, Emosi dan Kelelahan: Studi Atas Pengalaman Kontributor Microstock di Jawa Timur
7 Prima Yustitia Nurul Islami Domestifikasi dan Beban Ganda Pekerja Perempuan dalam Ekonomi Gig
8 Purnama Sari Pelupessy Dampak Ekonomi Gig pada Pendidikan Tinggi di Indonesia
9 Sinergy Aditya Airlangga Perubahan Agraria, Relasi Kerja Informal dan Pekerja Gig di Perdesaan: Studi Kasus Buruh Garmen di Jawa Tengah
10 Sunardi Akun “Bonto”: Cara Aplikator Mengontrol Pengemudi Ojek Online dalam Hubungan Kemitraan yang Semu

*urutan draft naskah terpilih berdasarkan abjad nama penulis

Selamat untuk draft naskah yang terpilih. Untuk draft naskah yang belum terpilih, jangan berkecil hati, semoga naskah tersebut nantinya dapat menemukan rumah lain untuk terbit. Terima kasih telah berkenan mengirimkan ide dan gagasannya ke kami.

Untuk draft naskah terpilih, selanjutnya akan kami hubungi melalui email igpa@ugm.ac.id

EKONOMI GIG saat ini tengah banyak digandrungi oleh perusahaan platform, dari bidang pengantaran barang, antarpenumpang, pembuatan film, desain, konten kreatif, pekerjaan rumah tangga, hingga pengantaran makanan. Istilah kerja gig sendiri merujuk pada cara kerja musisi, bahwa mereka hanya dapat bayaran ketika ada gig atau acara manggung. Mekanisme gig tersebut, diaplikasikan secara luas dan fleksibel oleh perusahaan platform dengan menggunakan piranti teknologi digital. Di Indonesia telah ada banyak perusahaan platform yang menggunakan model ekonomi gig, baik Gojek, Grab, Marxim, InDriver, Mr Speady, Shopee Express/Food, Upwork, dan juga yang lain.

Model ekonomi gig yang ada saat ini, bukanlah sesuatu yang baru. Kerja borongan atau piecework ala ekonomi gig telah dijalankan di abad ke-19, pada awal masyarakat kapitalis. Sejak awal, model kerja yang bersifat informal ini terkait erat dengan persoalan kerentanan, ketidaklayakan, hingga ketidakpastian. Sementara itu, bentuk kerja formal yang mendapatkan upah minimum, jam kerja 8 jam/hari, hak libur, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan perlindungan lain adalah hal baru dalam sejarah pekerjaan. Pekerjaan formal tersebut merupakan hasil dari perjuangan panjang kelas pekerja yang mampu menekan pemerintah dan pengusaha guna memberikan kehidupan dan kondisi kerja yang layak bagi kaum buruh.

Pada perkembangannya, di tengah melimpahnya cadangan pekerja hingga perkembangan teknologi yang dapat diakses secara massal, memungkinkan perusahaan platform menerapkan kerja gig secara luas. Perusahaan platform mengklasifikasikan pekerja gig ini bukan sebagai buruh/karyawan (pekerjaan formal), akan tetapi sebagai kontraktor independen yang “bermitra” dengan perusahaan. Pengklasifikasian pekerja gig sebagai “mitra” menjadikan perusahaan platform seperti Gojek dan Grab tidak harus memberi upah minimum, jam kerja 8 jam/jam, dan berbagai jaminan sosial ke pekerja gig. Persoalan muncul, ketika sistem kemitraan yang mereka jalankan tidak benar-benar sesuai dengan prinsip kemitraan, sehingga hal tersebut telah merugikan pekerja gig sebagaimana penelitian yang IGPA MAP UGM temukan.

Buku bunga rampai dengan judul “Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia” ini, berupaya menghadirkan narasi kritis tentang kondisi pekerja gig di Indonesia. Melalui buku ini, kami berupaya memberi narasi lain selain narasi dari pihak pengusaha dan pemerintah yang selama ini mengglorifikasi ekonomi gig sebagai ekonomi masa depan. Kita tentu sangat tidak ingin, glorifikasi ekonomi gig ini justru menutupi realita tentang adanya ketidakadilan, alienasi, dan pekerjaan yang belum layak yang diterima oleh jutaan pekerja gig di Indonesia. Kami dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), MAP Fisipol UGM mengundang para peneliti, mahasiswa, aktivis, pekerja gig, dan masyarakat secara luas untuk berkontribusi dengan mengirimkan tulisannya guna menjadi salah satu chapter dalam buku “Ekonomi Gig dan Kerja Layak Digital” yang akan diterbitkan oleh IGPA Press.

*Buku ini akan disebarluaskan secara gratis dalam bentuk ebook ke publik dan dicetak terbatas
**Tulisan yang dimuat akan mendapatkan honor, buku, & sertifikat

 

Tim Redaksi:

  • Yeremias T. Keban (Guru Besar Manajemen & Kebijakan Publik UGM)
  • Ari Hernawan (Guru Besar Hukum Perburuhan UGM)
  • Derajad S. Widhyarto (Dosen Sosiologi UGM)
  • Anindya D. Wulansari (Peneliti Muda di IGPA MAP UGM)
  • Arif Novianto (Peneliti Muda di IGPA MAP UGM)

SubTema:

  • Kondisi Pekerja Gig di Indonesia, bisa Ojek Online, Taxi Online, Pekerja Produksi Film, Designer, Freelencer, Copy Writers, Musisi, Kurir, Tukang Bangunan Online, dll.
  • Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Pekerja Gig
  • Pekerja Perempuan dalam Ekonomi Gig
  • Mitos “Kemitraan” dalam Ekonomi Gig
  • Ekonomi Gig dan Kebijakan Publik
  • Aksi dan Gerakan Sosial oleh Pekerja Gig
  • Persoalan Pekerja Gig dalam Analisa Hukum, Media, Komunikasi, hingga Ekonomi-Politik

Timeline Penulisan

  • 05 Juni 2021 – 24 Juni 2021: Pengiriman Abstrak + Draft tulisan
  • 30 Juni 2021: Pengumuman abstrak yang terpilih
  • 01 Juli 2021 – 31 Agustus 2021: Penulisan naskah secara lengkap (khusus bagi abstrak yang terpilih)
  • 01 September 2021 – 20 September 2021: Proses review tulisan, pemberian masukan, dan perbaikan naskah
  • 20 September – 10 Oktober 2021: Penyuntingan, Tata Letak, dan Proofread
  • Akhir Oktober 2021: Launching Buku dan Diskusi Publik

Ketentuan Penulisan

  • Setiap naskah dapat ditulis oleh 1 penulis dan maksimal 3 penulis
  • Abstrak + draft tulisan antara 300 – 500 kata, memuat: kontribusi tulisan Anda secara teoritis dan praksis, rencana penulisan, dan temuan/hipotesis.
  • Panjang naskah antara 3.500 – 5.000 kata (khusus bagi abstrak yang terpilih).
  • Pengutipan naskah menggunakan catatan perut dengan APA Style
  • Font menggunakan Calibri (Body) dengan ukuran 12 dan spasi 1.15.
  • Tulisan dikirim ke email igpa@ugm.ac.id dengan subjek “Naskah Buku Ekonomi Gig_nama penulis” dalam bentuk word. dengan turut melampirkan CV penulis.

Kontak

  • WA: +62 813 9135 5393
  • Email: igpa@ugm.ac.id