Pandemi COVID-19 telah berdampak tidak hanya ke persoalan kesehatan, tetapi juga ekonomi. ILO menyebut bahwa secara global ada 255 juta orang dirumahkan akibat pandemi pada tahun 2020. Sementara itu, kebijakan jaga jarak fisik sebagai cara menekan penyebaran infeksi SARS-CoV2 telah memicu penurunan pendapatan bagi pekerja informal, salah satunya adalah pekerja gig di sektor layanan antarpenumpang, antarbarang, dan antarmakanan.

Selama masa pandemi, pekerja gig yang bermitra dengan Gojek, Grab, Maxim, InDriver, dan juga yang lain, ditempatkan sebagai pekerja esensial atau penting, oleh karena peran mereka dalam mengantarkan makanan atau barang ketika masa pembatasan sosial seperti PSBB dan PPKM dijalankan. Akan tetapi, peran penting dari Ojol atau kurir tersebut tidak dibarengi dengan pendapatan yang layak dan perlindungan kerja yang setimpal.

Untuk mendiskusikan tentang persoalan yang dialami pekerja gig di tengah pandemi COVID-19, Insitute of Governance and Public Affairs (IGPA) Magister Administrasi Publik, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Policy Forum pada 10 Agustus 2021. Policy Forum merupakan agenda rutin dari IGPA MAP Fisipol UGM untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders) guna mendiskusikan suatu masalah publik. Dalam Policy Forum tentang pekerja gig ini, menghadirkan Ahmad Yani (Direktur Angkutan Jalan, Kemenhub), Ari Hernawan (Peneliti Tamu di IGPA MAP Fisipol UGM & Guru Besar Hukum Perburuhan UGM), Media Askar (Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM), dan KeJO_Online (Perwakilan dari Ojol yang bermitra dengan Gojek dan Grab). Sementara itu, perwakilan dari perusahaan platform tidak berkenan hadir dalam Policy Forum tersebut.

Ahmad Yani menyebut bahwa pandemi COVID-19 memang telah menurunkan pendapatan pekerja gig, tapi di sisi lain, meningkatkan layanan antarmakanan dan antarbarang dari perusahaan platform. Itu terjadi karena ada kebutuhan dari warga selama pandemi untuk menggunakan layanan antarbarang dan antarmakanan, guna menjalankan jaga jarak fisik.

Menurut Ahmad Yani, untuk mengatur tata kelola ekonomi gig di Indonesia diperlukan dua bentuk pengaturan, yaitu berupa payung hukum berupa regulasi dan terkait proses bisnis. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 untuk memberi payung hukum penggunaan sepeda motor dalam melayani masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Akan tetapi, pengaturan terkait proses bisnis dari perusahaan seperti Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain sampai saat ini masih belum ada.

Untuk dapat menata ekonomi gig agar berjalan dengan baik, maka diperlukan koordinasi antarkementerian, tidak Kementerian Perhubungan saja” ungkap Yani. Ia menekankan bahwa dalam tata kelola ekonomi gig, ada kewenangan dari Kementerian Informasi dan TIK, Kementerian Ketenagakerjaan, KPPU, hingga Kementerian Koperasi, sehingga diperlukan koordinasi lintas-kementerian guna mengelola dan mengatur ekonomi gig secara baik.

Ari Hernawan, sebagai pemantik kedua, memaparkan tentang temuan penelitian yang dilakukan bersama tim peneliti di IGPA MAP Fisipol UGM. Dalam penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pekerja gig itu menunjukkan adanya penurunan pendapatan hingga 67% dari pekerja gig atau ojek online (Ojol) yang bermitra dengan Gojek, Grab, dan Maxim. “Yang menarik, trend penurunan pendapatan itu tidak hanya terjadi akibat pandemi COVID-19, tapi juga karena apa yang kami sebut sebagai diakhirinya periode bulan madu atau bakar-bakar uang dari perusahaan platform” sebut Ari Hernawan. Akhir dari periode bulan madu itu dapat terlihat dari mulai diturunkannya insentif/bonus, ditingkatnya potongan untuk Ojol yang saat ini sekitar 20%, dikuranginya promosi, direkrutnya banyak mitra driver, dan juga yang lain, yang berakibat pada penurunan pendapatan Ojol.

Terkait persoalan regulasi, Guru Besar Hukum Perburuhan UGM itu menyebut belum ada payung hukum yang kuat guna memastikan ekonomi gig di Indonesia berjalan dengan adil dan belum ada penegakan hukum secara menyeluruh. Dalam hal hubungan kemitraan, telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang prinsip-prinsip kemitraan, namun berjalannya kemitraan antara Ojol dengan perusahaan platform tidak berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena pihak perusahaan platform memonopoli proses pengambilan keputusan dan kepengaturan kerja secara sepihak, tanpa melibatkan mitra mereka, yaitu Ojol. Begitupula terkait pelaksanaan Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang penentuan tarif dasar, yang di banyak kasus masih dilanggar oleh perusahaan platform tapi tidak ada penegakan hukum secara tegas.

Hal senada juga disampaikan oleh pemantik ke tiga, Media Askar, yang menyebut bahwa kerentanan kerja terjadi karena penentuan tarif yang rendah, terutama bagi pekerja gig dengan low-skill. Dalam konteks pandemi COVID-19, “justru pekerja gig dengan high-skill seperti programmer atau data analyst yang saat ini banyak dibutuhkan dan pendapatan mereka cenderung tinggi” sebut Media. Walaupun begitu, ekonomi gig dengan kualifikasi pekerja low-skill tetap menyerap banyak tenaga kerja saat pandemi, akan tetapi persoalan yang dihadapi adalah upah/tarif yang rendah, beban kerja yang tinggi, hingga kontrak kerja yang fleksibel yang cenderung mengarah ke kerja tanpa perlindungan.

Dari sisi pengalaman pekerja gig, KeJO_Online menyebut kondisi kerja yang rentan memang terjadi, akan tetapi ada sistem yang didesain oleh perusahaan platform uantuk membuat para Ojol berkompetisi satu sama lain agar akunnya menjadi “gacor” atau “gampang cari orderan”. “Jika akunnya gacor, jadinya pendapatannya menjadi lumayan, karena tiap hari dapat banyak orderan” sebut KeJO. Namun, tidak semua Ojol akunnya gacor, banyak juga yang akunnya “gagu” atau “anyep” karena jarang dapat orderan, sehingga membuat pendapatan hariannya seringkali kecil atau tidak mencukupi untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Di tengah berbagai persoalan dalam ekonomi gig, KeJO menilai yang saat ini dibutuhkan adalah pemberian jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja bagi Ojol. “Itu penting, karena pekerjaan di jalan ini risikonya tinggi, lengah dikit bisa ditabrak mobil, lengah sedetik aja bisa kecelakaan” ungkap KeJO.

Sementara bagi Ahmad Yani, di tengah pandemi Kemenhub telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi pekerja gig. Salah satunya adalah dengan menghimbau kepada perusahaan platform untuk memberi bantuan langsung ke Ojol/kurir dan menurunkan potongan sebesar 20% yang saat ini diterapkan di Gojek, Grab, Maxim, dan juga yang lain.

Sedangkan menurut Ari Hernawan, berdasarkan hasil penelitian dari IGPA MAP Fisipol UGM, alternatif kebijakan yang dapat diterapkan guna melindungi Ojol dan kurir adalah menerapkan “jaminan pendapatan dasar” (Japeda) dan memperjelas status kerja dari pekerja gig.

Cara menghitung Japeda dalam konteks Ojol, sudah tersurat dalam Permenhub PM 12 Tahun 2019 tentang formula menghitung biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kebutuhan masyarakat yang dimediasi oleh aplikasi. Japeda salah satunya sebagai koreksi dalam implementasi Permenhub tersebut yang saat ini digunakan untuk mengatur tarif dasar Ojol yaitu antara 1.800/km – 2.500/km, yang diperlukan bukan mengatur jarak per km saja, tetapi juga mengatur jaminan pendapatan dasar yang perlu dipenuhi oleh perusahaan platform per minggu/bulan ke Ojol berupa jumlah orderan minimal. “Dengan adanya jaminan pendapatan dasar yang wajib dipenuhi oleh perusahaan, maka ada keamanan dan perlindungan kerja bagi Ojol” sebut Ari Hernawan.

Bulletin Insight edisi Juli 2021, Volume 2 (1) kali ini menerbitkan edisi khusus berupa laporan penelitian dari Arif Novianto (Peneliti Muda di IGPA MAP Fisipol UGM) tentang kondisi kerja layak dan adil di GoKilat, sebuah layanan pengiriman barang sehari sampai dari GoTo. Berikut adalah ringkasan dalam penelitian dari Arif Novianto ini:

  • Kondisi kerja dari driver GoKilat belum berjalan sesuai dengan pekerjaan yang layak dan adil. Hal itu terlihat dari rata-rata jam kerja adalah 11,2 jam/hari, 25,2 hari/bulan, 60% kurir tidak memiliki jaminan kesehatan, 97% kurir tidak memiliki asuransi kendaraan, hubungan kemitraan yang dikuasai sepihak oleh perusahaan platform, tidak adanya jaminan pendapatan dasar, dan lain sebagainya.
  • Pendapatan dari kurir GoKilat pada Mei 2021 belum mencapai pendapatan yang layak. Dengan membandingkan dengan UMP DKI Jakarta tahun 2021, pendapatan bersih kurir GoKilat (pendapatan kotor dikurangi biaya sarana produksi dan jaminan sosial) hanya 1.661.514 rupiah per bulan (diukur berdasarkan kerja 40 jam/minggu), sedangkan UMP DKI Jakarta pada tahun 2021 sebesar 4.416.186 rupiah per bulan.
  • Dari aspek “kerja layak dan adil” terhadap pekerja gig di GoKilat, GoTo hanya mendapatkan poin 4 dari poin maksimal 15. Sehingga GoTo mendapat rapor merah “kerja layak dan adil” dalam hubungan kemitraan yang mereka jalankan di GoKilat. Bukannya berupaya memenuhi kerja layak dan adil bagi kurir GoKilat, kebijakan penurunan insentif yang ditetapkan oleh GoTo pada 08 Juni 2021 justru menjauhkan pekerja gig dari kerja layak dan adil.

Untuk membaca Bulletin Insight, Vol. 2 (1) silahkan dapat diunduh di sini: Download Bulletin Insight: GoTo Menjauhkan Pekerja Gig dari Kerja Layak dan Adil: Survei Kondisi Kerja Kurir GoKilat

Jika bermanfaat, silahkan bagikan kepada kawan yang lain.

Buku bunga rampai “Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia” yang akan diterbitkan oleh IGPA Press, lembaga penerbitan dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP Fisipol Universitas Gadjah Mada, telah sampai ke tahap berikutnya. Tim redaksi IGPA MAP Fisipol UGM telah memilih 10 abstrak dan draft tulisan dengan pertimbangan kesesuaian tema, keberagaman isu, dan analisis kritis dari total 40 abstrak dan draft tulisan yang diterima.

Dari total 40 draft naskah, kesemuanya begitu menarik, akan tetapi tidak mungkin kami menerima kesemuanya, sehingga kami memutuskan memilih 10 draft naskah sebagai berikut:

No Nama Judul Tulisan
1 Aulia D. Nastiti Dijamin Regulasi, Dikontrol Aplikasi: Keterbatasan Kebijakan Transportasi dalam Melindungi Kerja Pengemudi Gig
2 Dzaky Yusuf M., Rima Anhar R., & Naomy A. Nugraheni Mitos Kemitraan dan Konstruksi Normalitas ‘Kerja Gig’: Kajian Operasi Kekuasaan Hegemonik
3 Febrian Adinata Hasibuan

 

Musisi Sebagai Kelas Berbahaya? Politik Portofolio dalam Narasi Ekosistem Industri Musik
4 Fathimah Fildzah Izzati dan Rio Apinino Ekonomi Gig, Pandemi COVID-19, dan Pekerja Industri Kreatif di Indonesia
5 Izzan Fathurrahman Melestarikan Praktik Kerja Prekariat di balik Ekonomi Inovasi: Studi Kasus Praktik Kerja Perusahaan Teknologi kepada Mitra Pengemudi Ojek di Indonesia
6 Khoiril Maqin Burnout! Pekerja Muda di Antara Kreativitas, Emosi dan Kelelahan: Studi Atas Pengalaman Kontributor Microstock di Jawa Timur
7 Prima Yustitia Nurul Islami Domestifikasi dan Beban Ganda Pekerja Perempuan dalam Ekonomi Gig
8 Purnama Sari Pelupessy Dampak Ekonomi Gig pada Pendidikan Tinggi di Indonesia
9 Sinergy Aditya Airlangga Perubahan Agraria, Relasi Kerja Informal dan Pekerja Gig di Perdesaan: Studi Kasus Buruh Garmen di Jawa Tengah
10 Sunardi Akun “Bonto”: Cara Aplikator Mengontrol Pengemudi Ojek Online dalam Hubungan Kemitraan yang Semu

*urutan draft naskah terpilih berdasarkan abjad nama penulis

Selamat untuk draft naskah yang terpilih. Untuk draft naskah yang belum terpilih, jangan berkecil hati, semoga naskah tersebut nantinya dapat menemukan rumah lain untuk terbit. Terima kasih telah berkenan mengirimkan ide dan gagasannya ke kami.

Untuk draft naskah terpilih, selanjutnya akan kami hubungi melalui email igpa@ugm.ac.id

IGPA mempersembahkan bulletin berjudul Era Kebebalan: Penyebaran pengetahuan palsu dan kematian intelektualitas. Bulletin ini mendiskusikan tentang penyebaran informasi hoax yang berulang-ulang dan masif dapat menguburkan intelektualitas. Artikel ini menekankan pentingnya membangun budaya argumentatif untuk menanggulangi fenomena tersebut.

Link : https://map.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/290/2020/01/Bulletin-IGPA-Juli-Agustus-2019.pdf

 

IGPA mempersembahkan bulletin keempat berjudul ekonomi digital dan digital labour indonesia: jenis dan tantangannya. Bulletin ini mendiskusikan situasi ekonomi digital dan jenis pekerjaan yang muncul sebagai bagian dari perkembangan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, pada saat yang sama merupakan perubahan yang diakibatkan era digital terhadap ketenagakerjaan yang apabila negara tidak siap, penghidupan dan kesejahteraan warga negara menjadi taruhannya.

Link : https://map.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/290/2019/06/Bulletin-IGPA-Mei-20191.pdf

IGPA mempersembahkan bulletin ketiga dengan judul Bringing Political Identity Back: Hoax News in Indonesia. Bulletin ini mendiskusikan jenis dan karakteristik berita hoaks di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga mengidentifikasi upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memerangi berita hoaks.

Link : https://map.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/290/2019/05/Bulletin-IGPA-April-2019.pdf

IGPA mempersembahkan bulletin berjudul Dapatkah Birokrasi Bersikap Netral dalam Pemilihan Umum?. Bulletin ini mendiskusikan situasi yang dihadapi birokrasi ketika musim pemilu tiba, yaitu bersikap netral.

Link : https://map.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/290/2019/05/Bulletin-IGPA-April-2019.pdf

The AHP-SWOT Analysis of Strategies for Disaster Risk Reduction in Tourist Area of Borobudur, Indonesia

Dr. Erda Rindrasih, MURP, Dr. Ratminto, M.Pol.Admin, Kurnia Cahyaningrum Effendi, SIP, MPA, Dian Silviani, S.AP.

 

Seiring dengan meningkatnya mobilitas manusia dan meningkatnya konektivitas infrastruktur, risiko bencana diperkirakan akan meningkat, terutama di destinasi wisata alam seperti taman nasional. Di Indonesia, banyak destinasi wisata terkenal yang terletak di daerah yang rawan bencana, di mana hanya ada sedikit upaya untuk mengimplementasikan strategi dan program yang bertujuan untuk mengurangi risiko bagi wisatawan dan penduduk lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi untuk meningkatkan pengurangan risiko bencana di kawasan Borobudur Prambanan Yogyakarta, Indonesia, yang rentan terhadap bencana. Analisis AWOT (AHP+SWOT) digunakan untuk melakukan perbandingan berpasangan terhadap faktor-faktor yang ada untuk memprioritaskan faktor-faktor tersebut berdasarkan nilai eigen dan menghasilkan opsi-opsi strategis untuk meningkatkan pengurangan risiko bencana di daerah-daerah tujuan wisata. Temuan yang paling penting dari penelitian ini adalah bahwa penerapan kebijakan penggunaan lahan untuk meningkatkan pengembangan pariwisata dengan tetap mempertimbangkan dampak bencana merupakan hal yang sangat penting. Studi ini memperkuat landasan metodologis untuk menentukan strategi dalam mengurangi risiko bencana di kawasan pariwisata, khususnya dengan fokus pada kasus destinasi wisata Borobudur, Yogyakarta, dan Prambanan.

 

The AHP-SWOT Analysis of Strategies for Disaster Risk Reduction in Tourist Area of Borobudur, Indonesia

Dr. Erda Rindrasih, MURP, Dr. Ratminto, M.Pol.Admin, Kurnia Cahyaningrum Effendi, SIP, MPA, Dian Silviani, S.AP.

 

Along with the increasing human mobility and infrastructure connectivity, so does the projection of disaster risks, especially in natural tourist destinations such as national parks. In Indonesia, many well-known tourist destinations are located in disaster-prone areas, where there has been little effort to implement strategies and programs aimed at reducing risks to tourists and local residents. This research aims to identify strategies to increase disaster risk reduction in the Borobudur Prambanan Yogyakarta area, Indonesia, which is vulnerable to disasters. AWOT analysis (AHP+SWOT) is used to carry out pairwise comparisons of existing factors to prioritize these factors based on eigenvalues and produce strategic options to increase disaster risk reduction in tourist destination areas. The most important finding from this research is that implementing land use policies to increase tourism development while still considering the impact of disasters is very important. This study strengthens the methodological basis for determining strategies for reducing disaster risk in tourism areas, specifically focusing on the case of the tourist destinations Borobudur, Yogyakarta and Prambanan.